Monday, February 11, 2008

Masihkan Amerika Superpower?


 Amerika Serikat (AS) meredup. Begitulah kira-kira gambaran AS sewindu di bawah pemerintahan George W. Bush. Posisi tawar AS semakin menipis. Penolakan terhadap AS terjadi hampir serentak di setiap penjuru dunia. Dunia bergeser, seakan-akan AS bukan lagi Polisi Tunggal Dunia. Melihat semua ini, layak kita bertanya, masihkan AS super power?









AS di Mata Santri: Masihkan Amerika Superpower?

Oleh: Rizqon Khamami


Penulis adalah peserta program International Visitor Leadership USA-2008 utusan Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Rangkang, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur.


Amerika Serikat (AS) meredup. Begitulah kira-kira gambaran AS sewindu di bawah pemerintahan George W. Bush. Posisi tawar AS semakin menipis. Kenapa? Karena energi AS habis untuk menyelesaikan sisa-sisa perang di Afghanistan dan Iraq.

Sejak 2001, Washington menginvasi dua negara, dan di samping itu mengirim personel militernya ke penjuru dunia dari Somalia hingga Filipina: memerangi militansi Islam. Dan dana yang dikeluarkan untuk dua perang di atas tidak kurang dari $187 milyar, sebuah jumlah fantastis kombinasi anggaran militer 4 negara sekaligus: Cina, Rusia, India dan Inggris. Ditambah lagi Departement of Homeland Security, yang baru kemarin dibentuk, memiliki anggaran sekitar $40 milyar.

Beberapa dekade lalu, hegemoni global Amerika menjadi topic hangat. Sejarah mencatat: Amerika unggul. Namun kemenangan akibat runtuhnya Uni Sovyet itu membuat AS arogan, mau menang sendiri dan paranoid. Apalagi sejak serangan 11 September. Menjelang invasi Iraq, hubungan dengan beberapa negara menegang (contoh kasus: Perancis sebelum Sarkozy). Akibatnya, di mata publik dunia AS kurang disegani, bahkan cenderung marah, terutama publik Muslim.

Sejak beberapa tahun lalu, untuk pertama kali, ASEAN tidak melibatkan AS dalam sidang puncaknya. Malahan, meminta Cina dan India –dua negara yang melejit dalam bidang ekonomi disertai pengaruh mereka di dunia-- menjadi peserta. Untuk pertama kalinya, pada tahun 2001, Perdana Menteri Cina Zhu Rongji menawarkan Pakta Perdagangan Bebas (FTA) kepada negara-negara Asia Tenggara. Jika ini berlaku, 1,7 milyar orang akan menjadi konsumen, dengan kombinasi produk domestic kasar $1,5 hingga $2 triliun, tulis Kishore Mahbubani. Jumlah yang fantastis. Investasi Cina menyebar besar-besaran di tiap negara ASEAN, tidak terkecuali Indonesia.

Kishore Mahbubani, pakar politik internasional dari Singapura, mengamati bahwa pengaruh AS di Asia Tenggara semakin memudar, terganti oleh Cina. Masyarakat Filipina menuntut penutupan pangkalan militer AS di negaranya. Begitu juga di Jepang. Pada saat yang sama, Rusia di bawah Putin –Rusia kaya mendadak berkat harga minyak yang melonjak-- ikut bermain di Asia Tenggara. Beruang Kutub itu kini menjadi negara adidaya kembali dan sejak setahun ini mendadak sudah bertengger di Bumi Pertiwi. Posisi AS semakin terpinggir.

Bahkan beberapa negara yang secara tradisional punya hubungan erat dengan AS, survey memperlihatkan posisi AS menurun tajam. Menurut Pew poll, sikap positif warga Inggris terhadap AS menurun dari 83 persen pada tahun 2000 menjadi 56 persen pada tahun lalu. Di Jerman, angka menyusut dari 78 menjadi 37. Menurut sebuah survey lain di Jerman, Marshal Fund, hanya 36 persen menganggap kepemimpinan AS sebagai hal positif. Pada tahun 2002, angka itu mencapai 64 persen. Ditanya alasan apa yang mendasari penurunan itu: 34 persen menjawab karena Presiden Bush, dan 38 karena perang Iraq. Hal yang sama juga berlalu di Cina, sebanyak 57 persen menganggap AS sebagai negara yang kurang baik. Alasannya: arrogan, perang iraq dan unilateralisme.

Dalam perebutan sumber minyak dunia, di beberapa tempat AS kalah langkah oleh Cina. Konsesi minyak Sudan dikuasi Cina. Saat ini saja sedang dibangun pipa minyak langsung ke Cina dari negara-negara di Asia Tengah. Sedang hampir separuh minyak daerah ini di bawah konsesi Rusia. Iran menjual ke India. Venezuela kepada Cina dan kepada negara-negara tetangga Latin lainnya. AS gigit jari.

Cina mengungguli tidak saja dalam konsesi minyak, tapi juga dalam proyek-proyek pembangunan dan perdagangan di Afrika, dengan nilai perdagangan tahun lalu sebesar $50 milyar. Diproyeksikan pada tahun 2010 nilai itu akan mencapai $100 milyar. Bahkan Cina memberi pinjaman sebesar $11 milyar untuk Anggola –jumlah yang lebih banyak dibanding pinjaman Bank Dunia. Kuku naga Cina kini sedang menancapkan pengaruhnya di benua hitam pekat ini. Fareed Zakaria, pakar politik internasional asal Amerika, bahkan menyebut bahwa abad ini adalah abad Cina.

Keunggulan Cina atas AS ini diikuti juga oleh beberapa negara lainnya. Penguatan ini ditandai dengan menguatkan ekonomi negara-negara tersebut, tentu saja beserta pengaruh atas negara-negara di sekitarnya. Yang paling menonjol adalah India, Rusia dan Eropa. Setelah beberapa tahun ekonomi Eropa terpuruk, kini sedang bangkit dengan motor penggerak Jerman.

Eropa sendiri membentuk Uni Eropa yang meliputi tidak kurang dari 500 juta penduduk, dan mempunyai produk domestik kotor setara dengan AS. Bagi masyarakat Eropa, identitas tunggal mereka adalah menjadi orang Eropa. Bagi mereka, berarti: tidak bergaya Amerika dan membuang semua yang berkaitan dengan Amerika. Sikap mengental ini diakibatkan, salah satunya, cara pandang pemerintah AS terhadap Eropa menjelang penyerangan ke Iraq. Simpati masyarakat Eropa terhadap AS perlahan mulai menipis.

Ekonomi AS tidak bergerak, saat ini bahkan berkecenderungan resesi. Pengangguran meningkat dari 4,7 persen menjadi 5 persen. Di Hollywood sendiri 10.500 pekerja film diberhentikan.

Daya beli masyarakat AS yang selama ini terbesar di dunia menjadi susut. Jaringan retailer Macy sebanyak 850 toko dilaporkan mengalami penurunan 7,9 persen dalam bulan Desember saja –Macy selama ini dianggap mewakili kemampuan beli kelas menengah. Tiffany, yang berhasil meraup laba besar selama 2007 pada saat banyak retailer terpuruk, melaporkan bahwa penjualan selama Christmas tahun ini turun 2 persen. Kemampuan beli orang AS menurun.

Jika ekonomi betul-betul berada di ambang resesi tahun ini, hal itu dikarenakan kesulitan ekonomi orang-orang Amerika –yang menempati 70 persen aktivitas ekonomi. Jika daya beli berhenti, banyak perusahaan akan merugi dan mengakibatkan pemutusan kontrak kerja , dan akhirnya makin mengurangi daya beli orang-orang AS yang sudah melemah. Dan begitu seterusnya. Semua itu pada awalnya dipicu oleh macetnya sub-prime mortgage dalam bisnis perumahan.

Mata uang dollar melemah terhadap nilai mata uang asing. Tahun 2002 satu euro berharga 86 sen dollar AS, saat ini dihargai $1,46. Dengan menguatnya euro, ada kecenderungan transaksi internasional mulai melirik mata uang Eropa ini. OPEC sedang mempelajari kemungkinan penggunaan euro dalam penjualan minyak. Akibatnya, harga minyak menjadi tambah mahal bagi AS, membuat ekonominya memburuk, lalu dollar makin melemah. Memakai istilah Hasan Turabi, pemikir Muslim dari Sudan, dollar bukan lagi sebagai ‘umlah muqoddasah’, mata uang suci yang didewa-dewakan.

Pertanyaan muncul: Apakah ini pertanda Amerika kehilangan superpowernya? Iya, jika AS terus menerus disibukkan oleh carut-marut kegagalan “demokratisasi Arab”-nya Bush. Dan sebaliknya, saya melihat, Amerika akan bisa bangkit lagi.

Kenapa bisa begitu? Karena, meminjam istilah Chu Shulong --peneliti di the Brookings Institution, Washington-- kemunduran AS hanya pada tataran soft-power. Artinya: meredupnya AS masih hanya seputar reputasi, superioritas moral, kepercayaan bangsa lain, pengaruh, dan prestige.

Sedangkan untuk hard-power, AS masih merajai dunia. Tengok saja militer AS, masih terkuat. Kepemilikan hulu ledak nuklir masih terbesar kedua setelah Rusia: 5.045 buah. Anggaran militernya $528,7 milyar –terbesar di dunia-- sedang negara-negara lain: Inggris $59.2, Perancis $53,1 milyar, Cina $49,5, Jepang $43,7, Jerman $37,0, dan Rusia $34,7 milyar.

Di sisi lain, Amerika juga masih menjadi negara terkaya di dunia. Lalu disusul Jepang, Jerman, lalu Cina dan India.

Karena itu, pemilihan presiden AS kali ini menjadi titik penentu, apakah nasib AS akan mengikuti nasib kerajaan Inggris pada akhir abad 19, berhenti menjadi penguasa tunggal dunia digeser oleh Cina? Mari kita pantau. Dan, alhamdulillah, saya berkesempatan melihat semua pergolakan itu dari sarangnya langsung dalam program International Visitor Leadership USA-2008.
Wallahu a’lam bisshowab

(Washington DC, 11 Februari 2008)

No comments: