Monday, October 11, 2004

Anak Muda NU dan Dakwah Internasional

Secara organisasi, NU lebih besar dari DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) pimpinan (alm) M Natsir. Pada akhir 80-an, DDII mengirimkan pelaku dakwah ke berbagai pelosok Indonesia dan pemukiman Muslim yang belum banyak menerima pembinaan. Pada tahun-tahun yang sama, Presiden Suharto mengirim 1.000 dai ke daerah-daerah transmigran. Apapun alasan di balik itu, pengiriman dai oleh Soeharto ini makin meramaikan gegap gempita dakwah. Pada masa itu, adakah pengiriman dai-dai terorganisir dari LDNU?

***

Note: Tulisan saya ini rencananya akan dimasukkan dalam buku "Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU" (Kompas dan P3M, Jakarta, September 2004). Tetapi entah kenapa, setelah buku tersebut terbit, ternyata, artikel ini kagak dimasukkan. Ujar Editor: ".... buku hasil muktamar sudah diterbitkan oleh KOMPAS. Hanya saja, persoalannya, buku ini menjadi terlalu tebal, dan banyak tulisan yang tidak jadi dimasukkan. Karena alasan terlalu tebal, tulisan anak luar negeri yang masuk adalah tulisan Guntur Romli". Ya sudah, akhirnya, saya "terbitkan" di sini saja. Gitu saja kok repot.

Secara organisasi, NU lebih besar dari DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) pimpinan (alm) M Natsir. Pada akhir 80-an, DDII mengirimkan pelaku dakwah ke berbagai pelosok Indonesia dan pemukiman Muslim yang belum banyak menerima pembinaan. Pada tahun-tahun yang sama, Presiden Suharto mengirim 1.000 dai ke daerah-daerah transmigran. Apapun alasan di balik itu, pengiriman dai oleh Soeharto ini makin meramaikan gegap gempita dakwah. Pada masa itu, adakah pengiriman dai-dai terorganisir dari LDNU?

Sejauh ini, kegiatan dakwah di NU lebih banyak bertumpu pada peran individu. LDNU belum mengoptimalkan aktivitas ini. Dakwah di lingkungan NU masih bersifat perorangan, jarang terorganisir . Pada saat sekarang, hendaknya, NU sudah mulai merambah medan dakwah yang lebih luas, dan terkonsentrasi.

Dakwah, bagi NU sebagai Jam'iyyah, merupakan bagian integral, dan sebagai perekat warga sebagai Jama'ah. NU memiliki kultur kuat berdakwah. Sebagai sebuah tradisi, dakwah sangat lekat di kalangan NU. Bahkan, beberapa tradisi hidup lain dijadikan sarana dakwah.

Kolektivitas (jamaah) dalam warga NU memudahkan unsur dakwah disusupkan. Tradisi khaul, sebagai contoh, dan beberapa tradisi lainnya mampu dijadikan sarana dakwah effektif. Sejauh ini, dakwah NU telah semarak untuk kalangan sendiri. Pertanyaan menggelitik yang layak diajukan, mampukah anak-anak NU berdakwah di kalangan luar NU yang berbeda cara pandang, psikologi dan lingkungan?

Pertanyaan tersebut hendaknya menjadi pertimbangan. Secara garis besar, kelompok-kelompok "berbeda" tersebut meliputi: kelas menengah di kota-kota, kalangan fundamentalis, warga Muhammadiyah, Persis, kaum sekuler, Non-Muslim dan kelompok moderat. Berdakwah di kalangan warga NU petani tentu saja berbeda dibanding, misalnya, berdakwah di kalangan kelas menengah (middle-class) di kota-kota. Begitu pula pendekatan untuk kelompok fundamentalis, sudah pasti, tidak sama dengan kelompok moderat. Pada kelompok kedua, sebagai mayoritas di Indonesia dan dunia, lebih menyukai pilihan menjauhi kekerasan, sedang kelompok pertama memandang Islam sebagai "obat" satu-satunya, terkadang dengan dampak tak terhindari penggunaan jalan kekerasan. Masing-masing memiliki "kekhasan" yang lekat, berbeda satu dengan yang lain.

Pemetaan dengan disertai identifikasi "kekhasan" setiap kelompok tersebut, pada gilirannya, memudahkan anak-anak NU untuk menyesuaikan diri. Sebagai strategi dakwah, pengenalan sasaran sangat diperlukan. Betul, dakwah NU semata-mata bukan untuk menarik kalangan lain menjadi NU, tapi lebih penting dari itu: mendialogkan NU sebagai sebuah pemahaman agama. Karena itu, untuk meraup kesuksesan, bukan hujatan dan cibiran, dengan demikian, dibutuhkan kesadaran kolektif warga NU untuk merangkul seluas mungkin lapisan masyarakat.

Untuk upaya tersebut anak-anak Muda NU telah mulai menata pola. Islam Pribumi sedang digarap oleh Khamami Zada, dan Islam Liberal oleh Ulil Abshar-Abdalla merupakan upaya pengayaan wacana ke-NU-an. Kendati minus kajian dakwah, pada satu sisi, kajian keislaman yang mereka gagas sangat diperlukan dalam penggenapan kajian dakwah NU.

Setelah pemantapan wacana sebagai tahapan awal tersebut, maka dilanjutkan dengan langkah kedua untuk tingkat nasional: dakwah "ke-dalam" (NU) dan "ke-luar" (non NU). Lalu, menyusul langkah berikutnya adalah dakwah internasional. Target dakwah ketiga ini, salah satunya, adalah memperkenalkan wajah Islam NU sebagai Islam moderat. Di tingkat ini, NU bisa memperkenalkan sisi-sisi positif tentang Islam.

***

Sebagai diaspora, NU sudah tersebar di penjuru jagat. Hal ini dapat dinilai sebagai potensi utama untuk mempertontonkan kepada dunia bahwa ada alternatif Islam moderat yang bisa dengan sangat mudah hidup di dunia modern. Di manapun tinggal, keberadaan diaspora NU ini sangat penting untuk ditugasi --dan menugasi dirinya sendiri-- sebagai ujung tombak dakwah.

Ada sejumlah tempat yang belum terjamah oleh dakwah NU. Masyarakat Muslim di New Caledonia kebanyakan adalah keturunan Jawa, masih memegangi dan mempraktekkan Islam Tradisi (NU). Tatkala (alm) Lukman Harun, seorang petinggi Muhammadiyah, diminta untuk mengirim sejumlah dai ke pulau tersebut, menemui kemacetan dialog antara jamaah dan si dai.

Di Suriname keadaan tidak jauh berbeda. Beberapa anak muda Suriname yang sedang berguru ilmu dakwah di Markaz Tabligh di Nizamuddin, India mengeluh tentang kesulitan masyarakat Indonesian-origin. Termasuk langkanya dai yang menguasai kondisi psikologis dan tradisi masyarakat setempat, dan mampu membimbing amaliah ibadah yang dipraktekkan. Saya kira, jika ini diorganisir oleh, umpamanya, salah satu pesantren NU dengan mengirim santri-santri terbaiknya untuk KKN (kuliah kerja nyata), barangkali kegundahan pegiat dakwah yang sudah ada di Suriname akan bisa diminimalkan.

Di Hongkong, menurut Suhadi M Salam, seorang diplomat senior, didapati kelangkaan (malah tidak ada sama sekali) dai yang suka rela berjuang. Sementara, tidak kurang dari 60.000 tenaga kerja Indonesia bermukim di sana. Sampai-sampai dia harus merangkap imam mushalla, khatib, dan imam salat Hari Raya, di samping mengurusi tetek-bengek soal administrasi Kedutaan Besar RI. Satu orang untuk menangani begitu banyak Muslim. Masih kata diplomat ini: "warga Muslim tersebut sangat membutuhkan siraman agama untuk menetralisir kepenatan di sela-sela mencari uang. Mereka menginginkan dai yang tidak harus permanen menetap di Hongkong."

Begitu pula di Korea Selatan, Muslim Indonesia mencapai angka ribuan. Keadaannya tidak jauh berbeda. Ketidak-hadiran pendakwah menjadi kesulitan pertama untuk mendalami agamanya. Belakangan ini, persoalan menjadi pelik. Mereka sulit mendapati masjid Indonesia untuk sekedar "tempat mangkal" dan sebagai sarana berkumpul sebagai obat kerinduan Tanah Air. Saya membaca, masyarakat Muslim Indonesia ini lambat laun tercerabut dari akar tradisi keislaman mereka. Kelak, pada generasi kedua dan ketiga keadaan akan makin lebih parah. Siapa yang ambil perduli?.

Namun, agak berbeda di Australia. Tugas belajar santri-santri NU cukup menutupi kelangkaan pendakwah. Acap kali, peran santri NU menjadi berganda, tidak saja untuk kalangan setempat, namun juga untuk pelajar Indonesia sendiri. Di sela-sela aktivitas riset di University of New England, Nadirsyah Hosen, intelektual muda NU mumpuni putra KH Ibrahim Hosen, berdakwah untuk semua kalangan. Prestasi yang dicapai, dengan kelembutan dakwah yang disampaikan, di tangannya tiga orang setempat bersimpati dengan Islam, berikrar dengan ikhlas menjadi Muslim.

Demikian juga di sejumlah negara Eropa, agak tertolong. Kondisi beragama disana terbantu dengan kehadiran tidak sedikit mahasiswa Muslim Indonesia. Pengiriman santri-santri NU di Eropa, salah satunya ke Inggris, cukup membantu. Apalagi komunitas terbesar Muslim Eropa adalah migran dari berbagai negeri Islam. Umumnya, komunitas Muslim ini disertai dengan pendirian masjid dan pengiriman tenaga ahli agama dari negara masing-masing. Kita akan jumpai di Eropa masjid-masjid populer dipanggil dengan nama dari negara mana komunitas sekitar dan imamnya berasal, umpamanya, masjid Turki, masjid India, masjid Arab dan seterusnya.

Ikatan kuat komunitas Muslim Eropa tersebut dengan Islam, tidak lain, berkat pengawalan yang ketat dari institusi keagamaan di negara asal mereka. Keberhasilan diaspora Asia Selatan, misalnya India dan Pakistan, mempertahankan Islam beserta tradisi berislamnya, di sebuah negeri yang sama sekali asing, bahkan dalam kurun waktu yang sangat panjang, sekitar seratus tahun, berkat jalinan erat terus-menerus dengan institusi Islam di negeri asalnya. Madrasah Deoband, pesantren besar pengkaji ilmu-ilmu hadits di India, selalu mengirim santri-santri senior ke semua negara untuk menjadi pendakwah.

Hal yang sama kita temui di Amerika. Hampir 100.000 warga negara Indonesia, ditambah beribu-ribu Indonesian-origin pemegang paspor Amerika Serikat, sepertiganya adalah Muslim. Meskipun keadaan di negara ini jauh lebih baik, dengan jumlah Muslim yang cukup besar, meliputi bangsa Turki, Arab, Asia Selatan, Balkan, dan tersedianya banyak masjid, serta terpenuhinya tenaga pendakwah, namun kebanyakan bukan pendakwah asal Indonesia. Pada gilirannya, tampilan Islam di mata penduduk Amerika tidak lain kecuali warna India, Arab dan Turki. Citra Islam yang lebih ramah belum banyak disumbang dari Islam Indonesia. Oleh penduduk setempat, tenaga pendakwah yang tersedia dari Indonesia dirasa kurang. Lebih-lebih anak-anak NU. Jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Salah satunya Yudian Wahyudi, santri NU pemegang gelar M.A dan Ph.D dari McGill University. Itupun disela-sela menjadi visiting scholar di Harvard University. Anak NU lainnya adalah Nur Munir, Temple University.

Jadi rasanya tidak aneh, jika sebagian masyarakat Muslim AS masih diliputi kebingungan, sulit menyadari bagaimana menjadi Muslim sejati di lingkungan "kafir". Barangkali mereka berpikir: untuk menjadi orang saleh adalah dengan cara meninggalkan Amerika, atau menolak menjadi bagian kebudayaan Amerika. Karenanya, tidak jarang dari mereka akhirnya lebih memilih sikap antipati terhadap Islam. Bahkan, banyak di antara mereka, lebih baik tidak menjadi Muslim saleh asal tetap dengan penghidupannya. Ironis, bukan?

Di sinilah pentingnya sebuah penegasan: bahwa menjadi Muslim ideal tidak harus melepaskan budaya Amerika, dan tidak wajib terpisah dari lingkungannya. Dibutuhkan langkah penawaran dan pengenalan sebuah Islam yang bisa menjadi pribumi di manapun, Islam yang tidak perlu menjadi Arab.

NU, dalam perjalanannya, merupakan examplar Islam jenis ini, memihak pada budaya setempat. Model dakwah Walisanga, bagi NU, dianggap metode dakwah yang apik dan patut ditiru. Persesuaian Islam dengan budaya lokal bukan bid'ah. Model dakwah Walisanga bersifat final. Sedangkan di pihak lain, kalangan Puritan menganggap sebagai serangkaian dakwah yang belum selesai. Islam Puritan melanjutkan dakwah Walisanga, bukan mengadopsi, dengan pembersihan Islam dari unsur non-Arab, mengembalikan Islam pada bentuk "aslinya".

Berbeda dengan NU, kelompok puritan menatap Islam dari sudut Arab- sentris. Segala bentuk budaya setempat yang merasuk ke dalam tubuh Islam tidak lain adalah penyelewangan. Dengan begitu, pemihakan kepada budaya lokal tidak lagi ditolerir, sebagai bid'ah. Islam harus "murni". Kelompok ini akan sulit mengikuti zaman yang niscaya berubah. Bisakah model Islam yang menuntut serba "Arab" ini berkembang di satu tempat yang memiliki kebudayaan terbilang maju seperti Amerika?, dan akan mudah diterima masyarakat setempat? Saya kira sulit, bahkan boleh jadi malah menciptakan kesan lain: kolot, Islam yang kaku dalam merespon perkembangan dunia. Gilirannya, Islam hanya akan dipandang dengan sinis. Alih-alih malah menjauhkan mereka dari Islam, bukan melihat sebagai agama yang mencerahkan.

Jeffrey Lang, seorang muallaf Amerika, gundah: mungkinkah seseorang menjadi Muslim sejati tanpa meninggalkan budaya Amerika? Kegundahan ini berangkat dari kenyataan bahwa di tempat lain Islam bisa leluasa beradaptasi dengan tradisi. Di setiap negeri yang disinggahinya, Islam menyerap tradisi setempat. Di Jawa bercorak budaya Jawa. India dengan keindiaannya, Maroko, Nigeria, Turki, dan lain sebagainya. Khamami Zada lewat Islam Pribumi menjawab soal ini.

Menjadi Islam ideal, dengan begitu, tidak harus menjadi puritan (salafi). Siapapun terbuka menjadi insan-kamil sebagaimana terbukanya wacana tentang kajian keislaman. Bahkan, menjadi Muslim ideal (insan kamil, kaffah, shalih) tidak bertentangan dengan hidup modern dengan menjauhinya: demokrasi, pluralisme, emansipasi wanita, dan lain-lain seperti yang diusulkan oleh Ulil Abshar-Abdalla lewat Islam Liberal.

Sebagai salah satu bentuk pendekatan dakwah, Islam Liberal mencoba menarik simpati beberapa segmen masyarakat yang sejalan. Selain itu, Islam Liberal menjadikan agama sebagai obat sosial. Akar gerakan ini adalah perpanjangan gerakan liberalisasi Islam yang sudah cukup lama berproses di Indonesia, didorong untuk menjawab problem-problem sosial dan keagamaan.

Liberalisasi Islam yang diusung anak muda NU bukanlah barang baru, tapi kelanjutan dari gerakan kultural Gus Dur. Pada batas-batas tertentu, Cak Nur. Mengutip Radwan Masmoodi, Muslim yang menghargai kebebasan (freedom) orang lain masuk kategori Islam Liberal. Bebas dalam beragama, berpendapat dan berekspresi. Berangkat dari firman Allah, la ikraha fi al din, tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) (QS 2:256). Dia menghitung bahwa gerakan Islam Liberal di dunia merupakan representasi `silent majority', yaitu kelompok Muslim paling besar yang lebih banyak tidak menyuarakan secara "telanjang" akidahnya (Journal of Democracy, April/2003).

***

Akhirnya, dakwah sebagai urat nadi NU, harus dibaca lebih cermat. Dakwah ini harus melibatkan seluruh pihak. Dan, pada tahap awal, menggali pengayaan wacana NU: Islam Pribumi, Islam Liberal, Islam Emansipatoris, Post-tradisional dan lain sebagainya, sangat diperlukan. Selanjutnya, aktivitas dakwah sudah seharusnya menjadi pertimbangan pertama, dan terorganisir.

Pada tataran global, lewat dakwah, NU harus lebih optimal. Dakwah ini harus melibatkan semua lapisan warga NU, minimal, para santri yang sedang "mengaji" di luar negeri. Dakwah ini, sesungguhnya, sudah direntas oleh sebagian anak-anak NU. Alwi Shihab mengajar di Hartford Seminary, kemudian mengajar di Harvard University. Dan disusul berikutnya oleh Yudian Wahyudi. Fajrul Falaakh, lulusan Inggris, menjadi visiting scholar di AS. Masykuri Abdillah, Jerman. Nasaruddin Umar di Pittsburgh. Qodri Azizy dari Chicago. Ulil Abshar-Abdalla presentasi tentang Islam di Michigan. Nadirsyah Hosen di Australia. Belakangan diperkuat dengan pengiriman santri-santri NU lainnya ke Inggris oleh KH Hasyim Muzadi, dan oleh Alwi Shihab ke Australia. Langkah-langkah yang membanggakan, bukan?

Dalam optimalisasi ini ada kelompok lain yang juga perlu dirangkul oleh NU. Sejumlah anak muda yang berasal dari keluarga NU namun tidak dididik dalam dunia pesantren atau madrasah, bertebaran di dalam dan di luar negeri. Mereka belajar di perguruan tinggi umum, bahkan banyak yang mendapat beasiswa belajar teknik, ekonomi, politik, sastra, dan disiplin umum lainnya. Dilihat secara sepintas saja, ritual mereka adalah ritual yang dipraktekkan oleh NU seperti membaca ushalli, qunut, dan tahlilan. Namun mereka merasa tidak punya ikatan batin dengan NU. Mereka adalah anak-anak NU yang sudah merasa asing dengan atribut NU. PBNU harus memikirkan cara untuk merangkul anak-anak yang hilang itu. Kalau mereka bisa diajak berkiprah di NU, maka NU akan mendapat anugerah Sumber Daya Manusia (SDM) yang luar biasa, khususnya dalam disiplin ilmu umum.

Sebagai ujung tombak dakwah NU, keberadaan "dai-dai" ini sudah seharusnya terorganisir. Munculnya PCI-NU di Inggris, Mesir, Syria, Pakistan, Yaman, Australia, Sudan, Irak, Arab Saudi, Jerman, Jepang dan negara-negara lain, dapat menjadi upaya awal merangkul anak-anak NU yang "hilang". Dan, selanjutnya, mengirim secara selektif "dai-dai" berikutnya.

Dengan demikian, dakwah NU "ke-dalam", "ke-luar" dan "ke-dunia luar" di atas akan makin memperkokoh bangunan NU. Inilah masanya, NU go-internasional.
Wallahu a'lam.

No comments: