Sunday, November 16, 2003

Konservatisme vs Liberalisme di Tubuh NU

Kehadiran Masdar F Mas'udi beserta P3M di Kairo, Mesir mendapat tentangan keras dari mahasiswa NU yang bergabung dalam PCI-NU Mesir. Bahkan Limra Zainudin, ketua PPMI, organisasi payung mahasiswa Indonesia di Mesir mengancam untuk membunuh, jika Masdar dan rombongan tidak segera membatalkan acara bertajuk " Simposium dan Pendidikan Islam Emansipatoris". Penolakan acara dengan disertai ancaman bunuh tersebut adalah hal yang sangat diluar dugaan. Apalagi jika penentangan tersebut berasal dari anak-anak muda NU yang sedang belajar di Mesir. Sementara, anak-anak muda NU ini adalah gambaran dari sedikit generasi NU yang berhasil mengecap pendidikan tinggi, dan dari sedikit yang berkesempatan untuk bersentuhan dengan pemikiran Islam dari sumbernya: Azhar al-Syarif dan Tanah Nil Mesir. Ada apa dengan NU?

***

Konservatisme vs Liberalisme di Tubuh NU
Oleh Rizqon Khamami

Duta Masyarakat,
Kehadiran Masdar F Mas'udi beserta P3M di Kairo, Mesir mendapat tentangan keras dari mahasiswa NU yang bergabung dalam PCI-NU Mesir. Bahkan Limra Zainudin, ketua PPMI, organisasi payung mahasiswa Indonesia di Mesir mengancam untuk membunuh jika Masdar dan rombongan tidak segera membatalkan acara bertajuk " Simposium dan Pendidikan Islam Emansipatoris".

Selama ini sebagai LSM keagamaan, P3M mengusung ide-ide Liberalisasi Islam. Beberapa diantaranya adalah isu-isu jender dan emansipasi wanita. Bahkan Masdar mengusung ide nakal peninjauan ulang waktu haji, zakat dan pajak dan lain sebagainya. Masdar adalah satu dari sekian banyak anak-anak NU yang sedang bergairah dalam upaya mendialogkan Islam-Barat.

Ide-ide segar Masdar bagi beberapa kalangan kelewat maju dan berani --jika tidak malah kelewat nakal--, membuat gerah sebagian kalangan NU. Namun pada sisi lain, tidak sedikit orang yang menanggapi ide-ide tersebut dengan menganggap hanya sebagai wacana yang lumrah --betapapun gila-- dalam kajian intelektual. Lontaran ide tersebut bagi kelompok terakhir dianggap sebagai upaya pengkayaan wacana. Sebuah hal yang wajar dalam tradisi intelektual.

Penolakan acara tersebut dengan disertai ancaman bunuh adalah hal yang sangat diluar dugaan. Apalagi jika penentangan tersebut berasal dari anak-anak muda NU yang sedang belajar di Mesir. Sementara, anak-anak muda NU ini adalah gambaran dari sedikit generasi NU yang berhasil mengecap pendidikan tinggi, dan dari sedikit yang berkesempatan untuk bersentuhan dengan pemikiran Islam dari sumbernya: Azhar al-Syarif dan Tanah Nil Mesir.

Produk-produk pemikiran Islam terkini kebanyakan berasal dan bermura dari negara tersebut. Sebagai contoh, Asmawy, Abu Zayd, Hassan Hanafi, Qardhawy dan lain-lain. Begitu juga pemikir Islam pada abad 20. Salah satunya adalah Muhammad Abduh. Ada apa dengan anak-anak muda NU ini?

Berdirinya NU

Jika kita kembali ke masa lalu, NU berdiri adalah sebagai reaksi atas serbuan ide-ide Muhammad Abduh dan meruaknya Wahabisme. Terutama disebabkan oleh berkuasanya rezim al-Su'ud dengan memberlakukan paham Wahabi di semenanjung Arabia.

Abduh dengan ide tajdid al din (pembaharuan agama) mempengaruhi banyak generasi muda Indonesia kala itu, berakibat pada goyahnya tradisi masyarakat Indonesia. Ajakan untuk membuang taklid memaksa para ulama yang setia dengan tradisi berkumpul dalam wadah yang satu: Nahdlatul Ulama, mempertahankan konservatisme.

Energi para kyai tradisi banyak terbuang dalam upaya-upaya defensif dan mempertegas identitas diri: pada batasan mana tradisi masih bisa diteruskan dan modernisme bisa dilanjutkan. Dibutuhkan setengah abad untuk pemantapan identitas diri ini.

Segera setelah "serangan" dari kelompok modernis yang seringkali memanaskan kuping mulai mereda, selain tatanan bangunan tradisi sudah kokoh, kalangan NU mulai memikirkan penambahan bangunan. Kalangan muda NU, terutama sejak satu dasa warsa terakhir, melirik tradisi Intelektual Barat dengan berpijak pada fondasi bangunan tradisi, mengejar ketertinggalan dari kalangan modernis. NU melesat jauh, bahkan disebut-sebut meninggalkan rekan-rekannya di kalangan modernis.

Upaya dialog Barat-Islam yang digagas oleh kalangan muda NU ini, mau tidak mau, menggeser posisi konservatisme ke arah liberalisme. Kalangan muda tidak cukup puas dengan semua tradisi keislaman yang ada tanpa ikut-serta membangun "bangungan tambahan" untuk dijadikan kamar dan ruang yang nyaman bagi mereka. Biarlah ruangan tradisi yang ada dihuni oleh para orang tua, sedang anak muda dengan kegelisahan dan ukuran kenyaman yang berbeda dari kalangan tua ini membuat ruang tersendiri di atas bangunan tradisi NU yang sudah ada. Anak-anak muda ini tidak keluar dari batasan NU, tapi hanya menambahi saja. Mereka merasa tergugah untuk memenuhi panggilan sejarah, dan --lebih luas lagi-- membuat sejarah.

NU baru

Kalangan baru NU ini muncul sejak kesempatan pendidikan tinggi terbuka bagi mereka. Perkenalan dengan pemikiran dunia lain, pada sisi lain, demikian juga menciptakan gelombang baru intelektualitas NU. Namun, sayangnya, hal ini tidak dibarengi oleh terbuka seluas-luasnya kesempatan tersebut bagi semua generasi muda NU sisanya. Faktor ekonomi, rupanya, sangat berpengaruh.

Pada saat kesempatan tersebut hanya bisa dinikmati oleh segelintir anak muda NU, maka pada gilirannya akan menciptakan gap besar. Sillabus pendidikan pesantren, jika tanpa perubahan, mencetak anak-anak NU secara otomatis menjadi konservatis. Liberalisme yang digagas oleh segelintir anak-anak NU yang "tercerahkan" hanya menjadi pemikiran elitis, sejalan dengan ke-elit-an pendidikan tinggi untuk kebanyakan generasi muda NU.

Selanjutnya, gesekan-gesekan intelektual akan tidak bisa dielakkan. Generasi konservatis, bisa jadi, tidak mudah menerima pemikiran rekannya dari generasi liberalis. Dari itu harus ada upaya-upaya baru untuk mempertemukan, --sekurang-kurangnya untuk mendialogkan--, dua kutub pemikiran tersebut.

Kasus Mesir

Ketika muncul pertanyaan, kenapa muncul gesekan intelektual pada mereka yang sama-sama telah menikmati pendidikan tinggi? Untuk menjawab pertanyaan ini kita tidak bisa membagi wilayah hitam-putih. Faktor lain yang bermain di sini adalah warna abu-abu. Menurut sumber yang dekat dengan penulis, faktor abu-abu tersebut adalah ketidak-sukaan personal pada salah seorang pegiat di P3M, bukan pemikirannya. Konon, juga terkait dengan perasaan unggul intelektual --untuk tidak mengatakan keangkuhan-beberapa pelajar di Azhar. Disebut-sebut bahwa 'ajaran Islam Emansipatoris' yang masih perlu diperdebatkan kesahihannya tidak layak untuk mengajari Islam yang sudah mapan di Azhar. Wallahu a'lam.

Sudah pasti, menurut saya, jika gesekan-gesekan intelektual ini tidak segera diselesaikan, maka berkelanjutan menjadi pertempuran di kalangan NU, satu hal yang harus dihindari. Masa-masa pergolakan intelektual di tubuh NU yang sedang tumbuh membanggakan ini mengalami goncangan. Setelah lebih dari setengah abad kalangan NU sibuk memperteguh fondasi tradisi dari serbuan kaum modernis, jika pertikaian arus konservatisme dan liberalisme di tubuh NU ini --sebelum lebih jauh menjadi pertempuran terbuka-- tidak segera dilerai dan dicarikan jalan dialog, maka akan menumbangkan bangunan NU yang sudah sedemikian tinggi, kokoh dan nyaman ini. Apalagi kelompok yang bertikai ini adalah calon-calon pemegang tongkat estafet kepemimpinan NU.
Saya tidak bisa membayangkan kesedihan mendalam saya jika pada akhirnya NU harus pecah menjadi dua, tidak dalam kubu, tapi dalam dua organisasi berbeda seperti nasib organisasi massa Islam lain di belahan dunia Islam lainnya. Apakah NU akan tercerai-berai seperti organisasi-organisasi tersebut?
Come on, we have to take it into account.
Wallahu a'lam.

(Tulisan ini pernah dimuat di Dutamasyarakat)

1 comment:

Bhinneka Catur Sila Tunggal Ika said...

"Koncevatisme vs Liberalisme di Tubuh NU", keduanya menurut hujjah Nabi Muhammad saw. didalam kitab sucinya wajib menunggu-nunggu dan tidak boleh melupakan:

1. Al A'raaf (7) ayat 52,53: Datangnya Allah menurunkan Hari Takwil Kebenaran Kitab.

2. Fushshilat (41) ayat 44: Datangnya Allah menjadikan Al Quran dalam bahasa asing 'Indonesia' selain dalam bahasa Arab.

3. Thaha (20) ayat 114,115: Datangnya Allah menyempurnakan pewahyuan Al Quran berkat do'a ilmu pengetahuan agama oleh manusia, sedang Al Quran itu adalah suatu wujud yang terkandung didalam kitab suci yang belum muncul kepermukaan sampai sekarang sesuai Al Waaqi'ah (56) ayat 77-79, Al Baqarah (2) ayat 2.

4. Al Mujaadilah (58) ayat 6,18,22: Datangnya Allah membangkitkan semua manusia dengan ilmu pengetahuan agama untuk menyatukan 73 firqah persepsi pecah belah agama kedalah persepsi tunggal agam didalam Agama Allah sesuai An Nashr (110) ayat 1,2,3.

5. Al Baqarah (2) ayat 148: Datangnya Allah mengumpulkan bermacam-ragam persepsi agama dengan kiblatnya masing-masing menjadi satu persepsi agama.

Apabila hal ini telah turun di Indonesia awal millennium ke-3 masehi, maka tidak ada lagi Konsevatisme vs Liberalisme, karena telah menjadi satu persepsi agama

Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.