Tuesday, November 25, 2003

Bingkisan Lebaran dari India

Hari ini, 25 November 2003, Indonesia lebaran. Di ujung barat, di Timur Tengah, beberapa negara Arab menyertai.

Menurut laporan Metro-TV, di Iraq, lebaran sudah dirayakan kemarin. Saya menduga, Iraq masuk ke bulan baru Syawal pada saat negara lain menyempurnakan (takmil) puasa menjadi 30 hari. Iraq berpuasa selama 29 hari, dan 30 hari buat negara-negara lainnya. Wallahu a'lam, hanya Allah yang tahu.

Ala kullin, saya ucapkan selamat berlebaran pada teman-teman yang berada di negara-negara tersebut di atas.

Namun, kami warga muslim di India masih berpuasa. Hari ini, kami masih berpuasa, bukan karena langit mendung, sehingga `bulan baru' sulit terlihat, tetapi karena hari ini kami baru masuk pada hari yang ke-29. Nah, baru sore inilah kami akan melihat hilal. Jadi, kami di India dari Indonesia tertinggal sehari. Ini tidak membuat saya bertanya-tanya, karena selama ini juga begitu: India selalu terlambat sehari dari Indonesia. Bahkan, India sering terlambat sehari dari negara-negara Arab yang berada di sebelah barat.

Kegusaran saya, kenapa India bisa terlambat dua hari dari Iraq yang berada di sebelah barat? Jangan-jangan, saya menebak-nebak, kami warga muslim India telah terlambat sehari dalam memulai berpuasa.

India, terutama wilayah utara yang meliputi Delhi, Bombay, Lucknow, Maharasthra, Bihar, Gujarat dan lain-lain bermazhab Hanafi harus melihat bulan (ru'yah hilal). Tapi, cara melihat bulan ini kadang membuat saya berpikir ulang. Kenapa harus selisih dua hari dengan Iraq yang ada di sebelah Barat? Padahal, ulama Iraq berpegang pada mazhab yang sama sebagaimana di India utara. Sejauh ini, saya tak tahu persis bagaimana problem 'masuk syawal' di India selatan --penganut mazhab Syafi'i-- yang juga rukyah hilal.

Semalam saya harus menjawab seluruh pertanyaan jamaah musholla KBRI New Delhi yang diliputi kebingungan seputar perbedaan lebaran yang tidak seperti biasanya, karena ada beberapa negara yang sudah berlebaran jauh lebih dulu. Pendeknya, di India, jika nanti sore mendung dan akhirnya hilal nggak terlihat, berarti kami harus takmil (menyempurnakan) menjadi 30 hari. Itu artinya, bahwa kami harus berbeda tiga hari dengan Iraq yang ada di sebelah Barat.

Sekitar beberapa tahun lewat, ketika kami sedang menunggu konfirmasi sambil makan ayam tandoori di pinggiran masjid, di sebelah kantor team rukyah India, tentang berita lebaran, diumumkan bahwa karena mendung dan lain hal besok masih harus berpuasa sehari, tidak masuk bulan Syawal. Ohhh, kita masih puasa besok, begitu celetuk teman saya sambil mengunyah ayam tandoori yang hangat, padahal Saudi waktu itu mengumumkan bahwa besok sudah masuk bulan Syawal, dan Indonesia sendiri telah berlebaran kemarinnya. Kita bisa hitung, waktu itu, India akan berbeda dua hari dengan Indonesia. Tapi, sepuluh menit kemudian, tiba-tiba ada pengumuman susulan dari loud speaker: atas kesepakatan team rukyah India diumumkan bahwa keputusan tentang besok masih berpuasa telah dianulir, dan disepakati bersama, bahwa besok adalah lebaran, karenanya haram berpuasa. Kami terbengong-bengong, rasa senang dan bingung bercampur aduk. Ayam tandoori yang kami pegang tidak lagi berasa ayam, entah.

Malam tadi, ada beberapa jamaah yang mendesak saya untuk menkonfirmasi pada jam 9 malam, tentang informasi sudah masuk Syawal, atau tidak pada kantor team rukyah di Jama' Masjid, Old Delhi. Ketika, padahal, kami baru berpuasa 28 hari. Saya tegaskan, kita baru puasa 28 hari. Ini Berarti, bahwa tidak ada kemungkinan India akan berlebaran besok pagi, tapi kemungkinan besarnya adalah besok lusa.

Karena mereka tetap mendesak, akhirnya saya menyanggupi. Saya melanjutkan pembicaraan, seandainya besok lebaran, berarti ada yang salah dengan awal masuk puasa kita. Mungkin kita terlambat satu hari dari waktu semestinya. Karenanya, setelah lebaran Ied, keterlambatan satu hari itu kita wajib bayarkan di lain hari. Besok, lanjut saya, jika betul-betul masuk Ied, kita diharamkan untuk berpuasa.

Ketika ada satu jamaah yang bertanya: kenapa kita tidak mengikuti saja Indonesia, toh, kita adalah warga Indonesia. Saya hanya bergumam kecil dalam hati: wah, seorang nasionlis tulen, nih. Kita bisa mengikuti negara lain, begitu jawab saya, yaitu negeri Muslim terdekat, ketika di negara di mana kita berada, tidak ada satupun ulama tempat bertanya. Tindakan ini pernah dilakukan oleh salah satu Islamic Center di Belanda sekian puluh tahun lalu. Dan, kemungkinan mengikuti negeri muslim terdekat, masih lanjut saya, lebih terbuka lagi jika kita di Kutub Utara atau Selatan ketika kita sendirian.

Sejak awal hingga akhir pengajian, pertanyaan lebih sering dilontarkan oleh jamaah putra yang dipenuhi oleh para diplomat KBRI New Delhi dan para Staff. Sedangkan jamaah putri banyak diam dan menjadi pendengar yang baik. Ketika saya bilang bahwa ada kemungkinan besok lebaran (ketika kami baru berpuasa 28 hari), spontan Ibu-Ibu Dharma Wanita berteriak: seandainya besok lebaran, bagaimana kami menyiapkan masakan untuk open house? Kami tak sempat lagi mempersiapkan masakan jika mendadak lebaran adalah. Mas Riz, begitu Ibu-Ibu itu memanggil nama saya sambil setengah teriak karena panik, bisa nggak lebarannya diundur saja menjadi lusa sehingga kami bisa masak yang enak-enak?
Saya garuk-garuk, melongo.

Opo tumon ?



Foto: Lebaran di India. Foto bersama teman-teman mahasiswa Indonesia di India, yang bergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) India.

No comments: