Tuesday, August 10, 2004

Santri NU dan Karya Besar

> --- In ppiindia@yahoogroups.com, Sandy Dwiyono
wrote:
> > Soal pesantren saya ingin kasih komentar sedikit,
> > bagaimanakah caranya agar pesantren-pesantren di
> > Indonesia menjadi lebih hebat, canggih, maju, modern
> > tanpa kehilangan keislamannya. Kalau bisa dari
> > kalangan pesantren tiap tahunnya ada yang dapat hadiah
> > Nobel. Saya melihat dalam 40 tahun terakhir hanya
> > GusDur yang bersinar dari kalangan pesantren, lha mana
> > yang 40 juta lainnya? Seandainya ke- 40 juta
> > santri-santri di pesantren bersinar maka akan terang
> > Indonesia. Lahirkan dong karya-karya besar dari
> > pesantren.
> >


Mas Sandy Dwiyono yang baik hati,

Sentilan Anda sangat menggelitik. Ini membuat saya bertanya-tanya: kenapa anak-anak pesantren baru bisa muncul sekarang ini saja, tepatnya setelah masa reformasi? Kenapa tidak muncul, misalnya, sejak zaman Suharto, atau --meminjam istilah Anda-- selama 40 tahun terakhir? Jawabnya, karena pada era Suharto, NU dipinggirkan dan dianak-tirikan. Masa itu generasi NU hampir sama sekali tidak punya akses ke jenjang diluar wilayah ke-NU-an. Ambil contoh, jarang anak-anak muda NU, bahkan bisa dibilang tidak ada, yang dikirim oleh negara untuk mengikuti tugas belajar ke luar negeri. Kesempatan tersebut banyak diberikan hanya kepada kelompok-kelompok Islam non-NU. Jadi, kalo sekarang tampak yang muncul hanya Gus Dur, maklumlah, karena generasi muda Pesantren NU tidak banyak memperoleh "kue pembangunan". Kuliah dengan biaya sendiri? Wah, jangan mimpi, wong kesempatan untuk kaya saja dihalang-halangi oleh rezim Suharto. Bank NU-Summa, kunci awal kebangkitan ekonomi kaum santri tradisional, sebagai salah satu contoh, secara tak langsung telah dikempiskan sejak awal berdirinya.

Pada era Suharto, ketika tidak diberi kesempatan memasuki dunia birokrasi dan lembaga-lembaga negara lainnya, dan dunia politik dibungkam, anak-anak NU berkiprah di dunia LSM dan lembaga-lembaga swadaya lainnya. Ini memunculkan gerakan pembangkangan baru secara kultural atas dominasi Suharto, ditandai dengan berkembangnya wacana Civil Society, membuat ketumbangan Suharto makin cepat. Berlebihan? Tidak, itu temuan PPIM, Ciputat. Anak-anak muda NU ini antara lain, Ulil, Rumadi, Moqsith, KH Aminoto Sa'doellah, Zuhairi, Masdar, Agus, Imdad, Khamami Zada, Anas, Rendra, Aziz, Jadul, Luthfi, Suaedi, Inung, Jabir, Sumanto, Nuridin, Ali Sobirin, dll --hanya untuk menyebut beberapa nama saja. Mengharapkan ketokohan mereka sebesar Gus Dur, seperti Mas Boy harapkan, saya duga, hanya menunggu waktu saja.

Pelan-pelan, ketika Suharto tumbang, dan era dimana Indonesia kembali dipegang oleh tangan-tangan kelompok mayoritas, NU sebagai salah satu kelompok mayoritas ini, mempunyai kesempatan anyar. Pak Alwi Shihab, lewat PKB, membuka pintu lebar-lebar anak-anak muda NU untuk kuliah di Amerika, Australia, Jepang, India dan negara-negara lain. Pak Hasyim Muzadi, lewat PBNU, mengirim sebanyak-banyaknya para santri NU ke UK, Iraq, Mesir, Syria, Tunisia, Maroko, Saudi Arabia, Yaman, Yordania, Lebanon, Pakistan, India, dll. Ingat, keran ini baru terbuka beberapa tahun lalu. Menginginkan generasi baru sebesar Gus Dur di dunia internasional? Percaya deh, tunggu saja paling lama sepuluh tahun lagi.

Benih-benih dari generasi awal anak-anak santri yang sudah merambah dunia internasional, saat ini mulai tampak. Beberapa anak muda NU mulai "mengaum" di kampus-kampus beken internasional. Santri-santri tersebut antara lain, Ulil Abshar Abdalla, Yudian Wahyudi, Qodri Azizy, Fajrul Falaakh, dll. (Bisa dilihat disini, ini hanya salah satu contoh saja:
http://www.law.harvard.edu/programs/ilsp/conference.html/).
Selain itu, generasi baru ini juga selangkah lebih maju dari Gus Dur dengan memasuki dunia publikasi internasional. Yudian Wahyudi tahun lalu menulis di jurnal bergengsi internasional The Muslim World tentang 'respon dunia Arab terhadap pemikiran Hassan Hanafi' (http://www.blackwellpublishing.com/issue.asp?iid=2&ref=0027-4909&vid=93). Nadirsyah Hosen, anak muda NU lain, baru-baru ini beberapa buah tulisannya muncul hampir bersamaan di jurnal-jurnal bergengsi yang berbeda, diantaranya, Journal of Islamic Studies, Oxford (http://www3.oup.co.uk/islamj/current/), juga dapat ditemukan di Murdoch University Electronic Journal of Law (http://www.murdoch.edu.au/elaw/indices/issue/v11n1.html/). Nadirsyah Hosen bukan hanya menulis tentang kajian keislaman, tapi juga menulis tentang korupsi, hak asasi manusia, dan sistem pemilu --tema-tema yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh santri. Salah satu tulisannya tentang pemberantasan korupsi, bisa dilihat di European Journal of Law Reform (http://www.ejlr.org/) yang diterbitkan oleh Indiana University school of law (Amrik).
Di sisi lain, anak-anak NU juga sudah merambah dunia IT, sains, dan dunia sebangsanya. Kesempatan munculnya generasi pengganti Gus Dur sudah terbuka. Kita tunggu saja. Apakah ini pertanda kebangkitan santri-santri NU dan dunia pesantren tradisional ? Yupe, Anda betul.

http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/message/14256/

No comments: