Tuesday, August 31, 2004

NU dan Muhammadiyah: Epistemologi

Dear all,

Saya ingin menambahi, dan berikut ini potongan diskusi di kmnu2000@yahoogroups.com pada tanggal 26 Juli 2004. Saya cuplik potongan pokok-pokoknya saja dengan memberi tambahan dan perbaikan seperlunya. Maaf kepada teman-teman yang sudah pernah membaca di milis tersebut.

***

Sejauh ini, saya melihat, teman-teman muda NU merasa bebas mewacanakan ijtihad-ijtihad baru, sebagai upaya membuka kran ijtihad yang sudah berabad-abad macet. saya perhatikan mereka tidak terlalu mengalami kesukaran, meskipun tidak selamanya mulus, dikarenakan kerangka keilmuan di NU --ini kalo boleh disebut sebagai Epistemologinya-- memungkinkan untuk itu. Anak-anak muda NU bisa berpayung lewat kaidah-kaidah fiqhiyah yang sangat fleksibel, dan mereka bisa beraksi lewat kaidah tersebut. Sebagai misal, mukhafadhoh ala qadim al-sholih....dst....

Bahkan, dalam beberapa hal, para politisi NU juga mempergunakan ijtihad-ijtihad mereka. Misal saja soal fatwa presiden wanita apakah halal atau haram, Pak Hasyim menggandeng Mega. Gus Dur menarik Marwah Daud sebagai wakilnya. Hamzah sempat beberapa tahun bergabung dengan presiden wanita Mega. Meskipun di NU sikap konservatisme masih kuat, sebagai contoh, KH Mas Subadar masih bersikukuh bahwa presiden wanita kagak boleh, tapi konfrontasi dua kubu ini tidak terlalu sengit. Karena memakai cara istinbath yang sah dalam kacamata nahdliyin, sehingga masing-masing kubu menerima pendapat kubu lainnya.

Keluwesan ini, saya duga, tidak dijumpai oleh teman-teman muda di Muhammadiyah. Keinginan mereka untuk berijtihad, harus berhadapan dengan kalangan tuanya yang masih bersikukuh mengaku sebagai pemegang otoritas penafsir Qur'an dan Sunnah dan orang-orang di belakangnya. Ruju' ila Qur'an wa Sunnah yang menjadi ajaran pokok Muhammadiyah --yang diadopsi dari Wahabi. (Gerakan Salafy Modern pada waktu Muhammadiyah lahir, dalam pengamatan saya, belum menjadi metode ajaran yang tertata rapi. Jadi saya lebih cenderung mengatakan bahwa ruju' ila Qur'an wa Sunnah di Muhammadiyah dipengaruhi oleh ajaran Wahabi, ketimbang Salafy Modern )--, sejak detik pertama mengalahkan semangat tajdid yang diambil dari Abduh. Padahal, seandainya ajaran tajdid lebih kuat dari ruju' ila Qur'an wa Sunnah, mungkin anak-anak muda Muhammadiyah tidak akan terlalu sulit untuk menawarkan ijtihad-ijtihad barunya. Tapi, kenyataan berbicara lain. Sejak masa itu hingga detik ini, ruju' ila Qur'an wa Sunnah lebih kuat. Diperkuat lagi dengan semakin tertata rapi metode Salafy Modern oleh pemikir-pemikir Salafy Arab, seperti Hasan Al-Bana, Said Qutb, Said Hawwa, dan lain-lain, hingga pemikir-pemikir Salafy di Anak Benua India, seperti Maulana Maududi, Abul Hassan Annadwi, dll.

Dengan semakin mapannya pemikiran dan gerakan Islam Salafy Modern ini di belahan dunia Islam diujung sana, rupanya, berpengaruh besar pada perjalanan pemikiran Muhammadiyah. Secara sekilas, Kamal Hassan di jurnal The Muslim World dalam edisi khusus beberapa waktu lalu sudah sedikit menyinggung.

Dalam sebuah kesempatan, saat ditanya mengapa tajdid di Muhammadiyah cenderung berhenti, Gus Dur menjawab, karena semangat tajdid Muhammadiyah lebih banyak dicurahkan untuk "merombak fiqh", sehingga tidak menyisakan waktu lagi untuk ijtihad di bidang-bidang lain yang lebih luas. Dari sini juga saya lihat, semangat anti mazhab yang dulu dipengaruhi oleh Abduh, akhirnya bergeser hanya untuk membentuk mazhab fiqh baru, yaitu Tarjih. Pergeseran ke Tarjih ini, lagi-lagi, juga berarti pergeseran dari Abduh, dalam kacamata saya, menjadi lebih dekat ke Wahabi. Bisa dikatakan, tajdid bergeser menjadi ruju' ila Qur'an dan Sunnah. Meski begitu, dalam pengamatan saya, tajdid di Muhammadiyah tidak memudar sama sekali, masih ada. Hanya saja, tajdid tersebut bergerak untuk hal-hal yang sebenarnya sudah tidak perlu diutak-utik lagi.

Menurut saya, selama dua soal ini (Ruju' ila Qur'an wa Sunnah, dan Tajdid) tidak segera ditemukan benang penyelesaiannya, tarik-menarik antara kelompok muda Muhammadiyah yang ingin berijtihad bebas, dan kelompok tua-nya (tentu, beserta pengikutnya) yang masih ngotot dengan ruju' ila Qur'an wa Sunnah akan terus berlarut-larut. Bagaimanapun, ajaran Ruju' ila Qur'an ini mengarah ke puritanisme, lalu menjadi ortodoksi, selanjutnya kemungkinan ke depan, barangkali, akan menjadi fundamentalisme semacam Thaliban. Sedang, semangat Tajdid pada anak mudanya akan mengarah menjadi Liberalisme. Bukankah sumber pokok ketidak-sukaan sebagian kalangan Muhammadiyah terhadap pemikiran liberal beberapa anak muda Muhammadiyah berangkat dari situ?

Bagaimana penyelesaiannya? Itulah rumitnya, Muhammadiyah dihadapkan pada bagaimana merumuskan kedua pokok ajaran yang pada kelanjutannya saling bertabrakan. Ibnu Taymiyah dan Abdul Wahhab tidak menyangka jika pembaharuan agama yang digagasnya telah menumbuhkan ajaran agama yang kaku, keras, mau menang sendiri, mengaku yang paling benar, hingga ke tingkat yang paling radikal: terorisme. Lebih-lebih Abduh, saya percaya, waktu menggagas "tajdid" dan "kembali ke Qur'an dan Sunnah" dalam waktu yang bersamaan, beliau belum berpikir bahwa kelak dua pokok pemikiran tersebut berkembang menjadi dua aliran pemikiran Islam yang saling bertabrakan, semangat tajdid dan ijtihad menjadi pilar pertama pemikiran-pemikiran liberal Islam. Sedang, "ruju' ila Qur'an wa Sunnah" menumbuhkan gerakan anti Barat. Rumit, bukan? []

http://groups.yahoo.com/group/Muhammadiyah_Society/message/6977/

No comments: