Wednesday, July 28, 2004

Gus Mus dan Kubu ketiga di NU

Cak Guntur,

Renungan sampeyan bagus, detil, terarah dan gamblang. Betul, kita butuhkan kubu ketiga, sebagai kubu yang netral. Ini untuk menyelamatkan NU dari ketercabikan sekarang dan masa depan. Beruntung masih ada Kiai Sahal, masih ada yang bisa diharapkan. Dan Kiai Sahal sendiri cukup arif menempatkan diri sebagai tokoh sentral NU yang tidak terjerumus ke dalam permaian kubu-kubuan. Kita berharap banyak ke beliau untuk bisa memunculkan kubu ketiga, yaitu kubu khittah. Kenapa beliau? Karena peran beliau pada masa-masa terakhir sangat bagus, berusaha untuk netral. Tampaknya, suara-suara cabang dan para kiai di lapis lebih bawah bersedia mendengar "suara Mbah Sahal".

Setelah Kiai Sahal, apakah harapan itu juga berada di tangan Gus Mus? Jawabannya: ya dan tidak. Kenapa begitu? Karena secara tidak langsung, dalam pengamatan saya, Gus Mus tidak terlalu netral seperti sangkaan kita selama ini. Gus Mus memang tidak masuk salah satu kubu secara terang-terangan. Tapi saya lihat, Gus Mus sebenarnya sedang mengadakan perlawanan "kultural" tidak langsung ke Gus Dur --meskipun tidak dengan 'cetho-bloko' beliau mendukung Pak Hasyim, "lawan" Gus Dur.

Perlawanan kultural tersebut, seperti yang kita saksikan, adalah dengan mengangkat khittah, karena hanya lewat jalan ini perlawanan dengan Gus Dur bisa dilaksanakan. Gus Mus sadar, perlawanan lewat politik tidak bakalan bisa "menguliti" Gus Dur. Bahkan perlawanan Gus Mus ke Gus Dur sebelum pemilu, dengan menggerakkan barisan kiai-kiai, tidak juga berhasil. Malahan, semua bentuk perlawanan itu bisa diredakan oleh Gus Dur pada saat menjelang pemilu legislatif kemaren.

Gus Mus benci Gus Dur? Tidak. Tapi hanya menampung suara-suara sebagian kalangan NU yang sudah tidak nyaman dengan gaya kepemimpinan Gus Dur. Selama ini, sosok Gus Dur terlalu besar untuk ditantang oleh sebagian kalangan NU yang merasa kurang nyaman tersebut. Hanya Gus Mus yang berani "ngajak gulat" dengan Gus Dur. Itupun dengan cara-cara yang sangat-sangat halus. Berhasilkah? Tampaknya kegesitan Gus Dur tidak mudah untuk ditumbangkan. Diam-diam, minimal sebagai pilihan pribadi, Gus Mus mendukung Pak Hasyim. Bahkan, jangan-jangan Gus Mus getol mengangkat isu Khittah 26 hanya untuk menjegal Hasyim Muzadi dan Gus Dur sekaligus untuk memuluskan jalan SBY ke kursi presiden RI. Begitu juga untuk kalangan NU yang sudah gerah dengan Gus Dur, sama. Pendek kata, semangat Gus Mus untuk mengangkat khittah, saya duga, adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap Gus Dur.

Bisakah kita mengharapkan Gus Mus menjadi pemimpin kubu ketiga di NU? Saya kira tidak. Bukan Gus Mus yang kita harapkan untuk menjadi penyelamat NU, tapi generasi mudanya. Gus Mus saya harap cukup menjadi broker. Teman-teman muda NU yang harus gesit mendekat ke Gus Mus untuk mencari perlindungan. Ini mengingatkan kita pada "kudeta" Gus Dur, Slamet Yusuf, Ichwan Sams, Pak Said Budairy, dll, di Situbondo tahun 1984, dengan berlindung di bawah Mbah Sa'ad Syamsul Arifin dan Mbah Ali Maksum. Saya kira, jika Mbah Sahal dan Gus Mus sudah berada di tangan, anak-anak muda NU bisa muncul. Ada beberapa nama yang pantas untuk masuk, yang tidak politis dan konsisten di dunia kultural, seperti Mas Fajrul Falaakh, Syafiq Hasyim, Rumadi, dll. Pak Masdar saya kira bagusnya di Syuriah, menjadi "Bapak Asuh" bagi anak-anak muda NU yang ingin berkarier intelektual.

Tapi, mereka kagak punya pondok, konon ada konsensus diam-diam bahwa seorang ketua harus punya pesantren? Nah, kalo pesantren ini disyaratkan, maka masih ada beberapa: Mas Ulil dengan pesantren Utan Kayu-nya, Kiai Husen Muhammad, atau Kiai Aminoto Sa'doellah. PBNU mau dipimpin wanita? Ning Ntis bisa juga diajuin, atau Mbak Rosa. (eh, iya, sekedar info: kemaren, Mbak Rosa udah diangkat jadi anggota MPR/DPR. Selamat buat Mbak Rosa)

Yang pasti, anak muda NU harus mengambil alih kepemimpinan NU secara struktural, biar laju kultural NU tetap berada di jalurnya. Dan, masa yang sangat tepat adalah sekarang ini, emang kapan lagi? Karena, dalam keadaan normal sangat sulit anak muda akan naik. Selagi dunia NU masih carut-marut, maka kesempatan itu sangat terbuka. Kata orang, kemunculan seorang tokoh besar hanya pada zaman yang tepat. Gus Mus kah itu? Iya, betul. Tapi saya berharap, Gus Mus tidak untuk memimpin NU, namun bersedia menjadi tokoh pengayom. Dan, tokoh besar yang akan muncul, sekali lagi, harus dari anak-anak mudanya.

Bukankah masa depan NU berada di tangan anak-anak mudanya?

http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/message/14132/

2 comments:

mas-pahe said...

assalamua'alaikum...bagus banget renungannya...tapi apa ini tidak terlalu berprasangka...kalo saya melihatnya kok selama ini, beliau berdua ( Gus Mus + Gus Dur ) akur-akur aja...Menurut saya Gus Mus-lah yang bisa memahami langkah Gus Dur..Jayalah NU, semoga mendapatkan pemimpin yang amanah, dan tidak terjerumus dalam godaan dunia Amiin...salam kenal

HaBIBaH said...

keberadaan NU saat ini emang pantas mjadi bahan renungan kita, sebagai generasi muda NU. bagaimana tidak... banyak nahdliyyin yang enggan mengaku sebagai nahdliyyin gara-gara perseteruan tokoh-tokohnya (khususnya dalam dunia politik). oleh karena itu, setuju ama admin : HARUS ADA KUBU KETIGA NU sebagai balance