Monday, November 10, 2003

Tantangan Dakwah NU

Diaspora NU sudah tersebar banyak di penjuru dunia. Saya sepakat dengan penilaian, potensi utama yang bisa mempertotonkan ke khalayak dunia bahwa ada alternatif Islam moderat yang bisa dengan sangat mudah hidup di dunia modern. Di manapun tinggal, keberadaan diaspora NU ini sangat penting untuk ditugasi --dan menugasi dirinya sendiri-- sebagai ujung tombak dakwah Islam yang menawarkan hal positif dari Islam Indonesia (NU). Apakah perlu ada di antara kita menggagas Dakwah untuk menata ulang bangunan Islam-NU kita ini? Bagaimana respon LDNU ?

***

Tantangan Dakwah NU
Oleh Rizqon Khamami

Duta Masyarakat, Jumat, 21 Pebruari 2003

SEBUAH Diaspora, NU sudah tersebar banyak di penjuru dunia. Saya sepakat dengan penilaian, potensi utama yang bisa mempertotonkan ke khalayak dunia bahwa ada alternatif Islam moderat yang bisa dengan sangat mudah hidup di dunia modern. Di manapun tinggal, keberadaan diaspora NU ini sangat penting untuk ditugasi -dan menugasi dirinya sendiri- sebagai ujung tombak dakwah Islam yang menawarkan hal positif dari Islam Indonesia (NU).

Meminjam istilah Harun Nasution, "NU ditinjau dari aspek-aspeknya", NU memiliki sudut Emansipatoris yang lagi digarap oleh Zuhairi Misrawi, Liberal digarap Ulil Abshar-Abdalla, Pribumi digarap Khamami Zada, dkk, NU minus kajian dakwah. Setahu saya, dari dulu hingga sekarang dakwah di NU lebih banyak diserahkan kepada individu, jarang terorganisir. LDNU sewaktu dipegang oleh Syukron Makmun, saya setengah yakin, hanya dikarenakan Syukron dikenal sebagai dai. Entah LDNU sekarang. Artinya, dakwah dalam NU masih bersifat individual yang tak terorganisir. Pada saat sekarang, NU sudah semestinya mulai merambah medan dakwah yang lebih luas.

Seperti yang saya contohkan sebelumnya, masyarakat Islam di New Caledonia yang kebanyakan dari Jawa, masih memegang dan mempraktekkan Islam Tradisi (NU) sehingga tatkala (Allah yarham) Lukman Harun dari Muhammadiyah diminta untuk mengirim dai ke pulau tersebut, menemui kemacetan dialog antara jamaah dan si dai. Begitu pula di Suriname didapati hal yang sama.

Saya pernah berdialog dengan anak Suriname yang sedang berguru ilmu dakwah di Pusat Tabligh di Nizamuddin, India mengeluhkan beberapa hal tentang masyarakat Indonesian-origin, termasuk langkanya dai-dai yang mengetahui dan membimbing amaliah ibadah yang dipraktekkan oleh mereka. Terbersit di benak saya, jika ini diorganisir oleh, umpamanya, salah satu pesantren NU dengan mengirim santri-santri terbaiknya untuk KKN (kuliah kerja nyata) di dua negara tersebut, barangkali kegundahan pelaku dakwah di suriname yang sudah ada tadi akan bisa diminimalkan.

Secara organisasi, NU lebih besar dari DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) pimpinan (Allah yarham) Natsir. Pada akhir 80-an, DDII mengirimkan pelaku dakwah ke berbagai pelosok indonesia yang Muslim nya belum banyak menerima pembinaan. Sebagai saingan, buru-buru Suharto segera mengirim 1000 dai ke daerah-daerah transmigrasi. Regardless the reason behind, pengiriman dai oleh Soeharto ini makin melengkapi (saya memakai kata melengkapi, bukan menyaingi Natsir). Pada masa itu, adakah pengiriman dai-dai secara legal dari LDNU yang diorganisir?

Di Hongkong, menurut seorang diplomat yang pernah di tempat di sana mengungkapkan, langkanya (atau malah nggak ada sama sekali) para dai yang suka rela membimbing mereka. Sampai-sampai diplomat ini merangkap sebagai imam mushalla, khatib, dan imam Salat Idul Fitri, selain mengurusi 'tetek-bengek' soal-soal administrasi para muqimin dan muqimat di Hongkong yang sudah merambah angka di atas 60.000 orang. Satu orang untuk ngurusin segitu banyak Muslim Indonesia. Masih kata diplomat ini: orang-orang Indonesia ini sangat membutuhkan siraman agama untuk menetralisir kepenatan mereka mencari uang. Mereka membutuhkan dai-dai yang tidak harus permanen tinggal di Hongkong.

Begitu pula di Korea, angka orang Islam Indonesia sudah ribuan. Siapa yang peduli? Hal yang sama kita temui di Amerika. Hampir 100.000 Indonesian dan beberapa ribu Indonesian-origin, sepertiganya adalah Muslim.

Saya yakin, kebanyakan mereka adalah Muslim yang belum menyadari bagaimana menjadi Muslim Saleh di suasana dunia Amerika. Barangkali, mereka berpikir: untuk menjadi orang saleh harus meninggalkan Amerika, atau menolak menjadi bagian kebudayaan Amerika. So, tidak jarang dari mereka akhirnya lebih memilih sikap antipati terhadap Islam, karena mereka nggak mau melepaskan sumber rezeki. Mereka lebih memilih tidak menjadi Islam shalih asal mereka bisa mendapatkan uang. Ironis, bukan?

Sekali lagi, di sini pentingnya menegaskan kembali ke mereka, bahwa menjadi Muslim ideal tidak harus melepaskan budaya Amerika. Kita menawarkan dan memperkenalkan ke mereka sebuah Islam yang bisa menjadi pribumi untuk dimanapun, tidak harus menjadi arab. (Kedalaman kajian tentang Islam Pribumi sangat dinantikan nih, Khamami Zada, dkk).

Menjadi Islam ideal tidak harus menjadi orang puritan, salafi, atau fundamentalist. Siapa pun terbuka menjadi 'insan-kamil' sebagaimana terbukanya wacana tentang kajian keislaman. Bahkan, menjadi Muslim ideal (insan kamil, kaffah, shalih) tidak bertentangan dengan hidup modern dengan menjauhinya : demokrasi, pluralisme, bunga bank haram, assuransi dosa, dll seperti yang diusulkan oleh Ulil lewat Islam Liberal.

Masalahanya sekarang, ketika Islam liberal, Islam emansipatoris, dan Islam Pribumi sudah 'mengudar-udari' kedalaman kajian mereka, adakah yang membahas masalah aktivitas dakwah. Mas Ulil, saya rasa, masih kesulitan menempatkan bagaimana posisi dakwah dalam Liberal manakala segala sesuatu perilaku seseorang adalah masalah private. Begitu pula untuk emansipatoris yang mengandaikan Islam sebagai perantara keadilan sosial dan Islam pribumi yang hanya --minimal sampai detik ini saya memahami-- untuk akomodasi bentuk tradisi keislaman yang ada sambil mengkritisi. Apakah perlu ada di antara kita menggagas Islam Dakwah melengkapi ketiga aspek NU yang sudah ada itu untuk menata ulang bangunan Islam-NU kita ini?

Bagaimana respon LDNU ?

http://www.dutamasyarakat.com/detail.php?id=10616&kat=OPINI/

1 comment:

ARISTIONO NUGROHO said...

Sudah saatnya format, dan substansi dakwah dibasiskan kembali pada Al Qur'an dan Al Hadist. Untuk sharing silahkan klik http://sosiologidakwah.blogspot.com