Tuesday, June 07, 2005

NU, Yes. PKB, No

Saran untuk islah antara kubu Alwi Shihab (habib Alwi) dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) di PKB, saya kira agak sulit. Kenapa? Karena di NU sekarang tidak ada tokoh sepuh yang "sangat berwibawa", melebihi wibawa dan kedigdayaan para kyai-kyai yang ada. Selama ini, dalam sejarah NU, islah itu kebanyakan karena campur tangan seorang kyai berpengaruh yang sangat-sangat berwibawa. Sekarang ini hampir semua kyai itu sudah mencapai maqom yang sama tinggi, termasuk Gus Dur. Ibarat padepokan silat, habib Alwi Shihab dan cak Imin itu cuma 'cantrik'. Islah tampaknya sulit. Lantas, bagaimana baiknya?

***

Mas Suaidi,

Saran untuk islah antara kubu Alwi Shihab (habib Alwi) dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) di PKB, saya kira agak sulit. Kenapa? Karena di NU sekarang tidak ada tokoh sepuh yang "sangat berwibawa", melebihi wibawa dan kedigdayaan para kyai-kyai yang ada. Kewibawaan kyai-kyai di NU struktur, saya lihat, sejajar dengan Gus Dur. Kyai Sahal umpamanya, sangat berwibawa di struktur PBNU, tapi kurang bergigi di PKB dan kalangan politisi NU non-PKB. Mengharapkan peran Kyai Sahal seperti kyai-kyai ketika Gus Dur masih muda, untuk saat ini, sulit. Kemaren saja, Kyai Sahal sudah ngendika: nggak akan campur tangan dalam kekisruhan PKB sekarang. Dan, kyai struktural hampir semuanya terlibat dalam politik, baik di PKB atau di PPP, atau di partai-partai NU lainnya.

Selama ini, dalam sejarah NU, islah itu kebanyakan karena campur tangan seorang kyai berpengaruh yang sangat-sangat berwibawa. Sekarang ini hampir semua kyai itu sudah mencapai maqom yang sama tinggi, termasuk Gus Dur. Ibarat padepokan silat, habib Alwi Shihab dan cak Imin itu cuma 'cantrik'. Islah tampaknya sulit. Lantas bagaimana?

Gini saja, anak-anak muda NU bikin saja partai baru. Partai yang bisa menandingi PKS. Partainya anak muda NU. Partai-partai NU yang ada, seperti PKB (baik kubu habib Alwi atau Cak Imin), PPP, PNU, Partai PANU, PKU, atau Partai PAKU, atau entah apa lagi, sudah impoten. Kagak bergigi. Partai-partai itu, menurut saya, kalo nggak ingin ditinggal anak-anak muda NU, harus dikasih viagra. Kalo dikasih viagra masih saja kagak semangat, tinggalkan saja. Bikin saja yang baru. Gitu saja kok repot. Apalagi kalo Pak Hasyim Muzadi dimintain jadi bidan partai baru ini. Pasti semangat. Apalagi kalo ditawarin Pemilu mendatang jadi Capres.

***

Mas Suaidi,

Saya bisa memaklumi bagaimana keberatan sampeyan dengan inisiatif pembentukan partai baru anak muda NU. Terkesan, memang, partai baru memecah belah. Betulkah demikian? Betul, jika dilihat dari satu sisi. Tidak, jika dilihat dari sini lain. Tetapi untuk memberi kontribusi pemecahan ke PKB, apa yang bisa anak muda NU berikan? Kagak ada. Wong, orang-orang yang di PKB saja ingin melestarikan konflik itu.

Pembentukan partai baru, pasti, akan membuat dunia politik NU makin kacau-balau (baca: membingungkan warga NU). Tapi, apakah kebingungan itu akan sirna jika kita tidak membuat partai baru? Ingat, saat ini,
terutama sejak reformasi, partai NU sudah terlalu banyak. Bingungkah warga? Pati. Tapi, biarkan saja, wong yang di partai itu saja maunya tetap bikin bingung umat asal mereka tetap nongkrong dengan kekuasaannya. Coba tengok, bagaimana PBR harus memisahkan diri dari PPP. Baru-baru ini saja tanda-tanda perpecahan anyar PPP tampak menggejala. PKB juga sama. Bukti apa ini?

Pertanyaan saya, adakah partai-partai NU yang bisa menyuarakan jiwa anak-anak muda? Kagak ada. Ini kegelisahan saya. Selama ini jiwa muda teman-teman NU belum terakomodir. Platform politik partai-partai NU
yang ada, cuma segitu saja. Lihat bagaimana PKB, PKU, PNU, PPP atau entah apalagi. Saya yakin, sebagian teman-teman NU memilih partai- partai NU, terutama PKB, karena satu hal: "Tega larane, ora tega patine." (Tega sakitnya, kagak tega hancurnya). Ungkapan ini adalah ungkapan jujur Gus Mus (?) menjelang Pemilu kemaren.

Yang berusaha menarik kalangan muda, itu baru PKB kubu Cak Imin. Namun baru sebatas merekrut tenaga muda. Bukan program yang bisa menarik anak muda. Dan saya tidak yakin PKB Cak Imin bakal menjaring
suara batin anak-anak muda NU. Bagaimana dengan kubu habib Alwi? Saya masih ragu. PBR juga sama. Apalagi PPP. Makanya tidak heran kalo sebagian anak-anak NU lebih memilih PKS. Salahkah mereka? Tidak. Para politisi NU itu yang tidak bisa menjadikan partainya sebagai penampung kegelisahan dan kemarahan anak muda.

Akhirnya, kalo politisi NU --dengan sejibun partai-partai itu-- sudah membuat warga bingung, kenapa tidak sekalian saja dibikin bingung? Sudah keburu basah. Bikin saja partai baru. Ini warning buat mereka, seperti ungkapan Cak Hatim di postingan email sebelumnya. Kalo perlu IPNU, IPPNU, Fatayat, dll, dirubah saja jadi partai. Yang tidak boleh dirubah, kan, NU. Kalo Banom, mah, boleh-boleh saja. he he he... Anak- anak muda kagak cukup pengalaman? Siapa bilang. Ning Rosa bisa direkrut. Insya Allah beliau ini akan menggebrak-gebrak meja lagi di Senayan seperti tempo hari. Mas Sulton Fathoni juga bisa. Eh iya, Luthfi Thomafi juga bisa ditarik, sebelum keduluan dipinang oleh sang Abah ke PPP. Bagaimana dengan Gus Ghofur? Tanya sendiri ke orangnya. Mas Suaidi, kalo partai baru ini disebut-sebut ibarat "lagu lama" yang sampeyan samakan dengan keluarnya NU dari Masyumi, jelas jauh. Konteksnya beda.

"NU, Yes. PKB, No."

Wednesday, June 01, 2005

Komentar atas "Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan"

Saya membaca tulisan sunan Sukidi Mulyadi di Bentara, Kompas, Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan. Tulisan yang sangat menarik. Kenapa? Pertama, Sunan Sukidi berhasil membangkitan dari kubur "khittah" Muhammadiyan yang selama ini terkubur. Dari situ, JIMM berhutang budi ke Sukidi: Ternyata JIMM lebih "men-Dahlan" ketimbang mereka. JIMM rupanya penerus "khittah" Muhammadiyah. Dan dapat kita simpulkan, ternyata, para "Qutubis" itu adalah orang-orang Muhammadiyah "murtad". Kenapa bisa begitu?

***

Salam,

Saya membaca tulisan sunan Sukidi Mulyadi di Bentara, Kompas, Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan. Tulisan yang sangat menarik. Kenapa?

Pertama, Sunan Sukidi berhasil membangkitan dari kubur "khittah" Muhammadiyan yang selama ini terkubur. Selama beberapa dasawarsa terakhir Muhammadiyah terlihat makin "Qutubis" --meskipun ungkapan 'Qutubis' ini tidak sepenuhnya benar. (Istilah yang benar apa yah?) Yang pasti, sejak tahun 80-an, pemikiran Muhammadiyah condong ke Ikhwanul Muslimin sebagai gerakan sosial. (Catatan: bukan politisnya). Amien Rais termasuk yang berperan memperkenalkannya ke tengah-tengah kalangan Muhammadiyah. Saya amati, selama bertahun-tahun Muhammadiyah semakin hari semakin "Qutubis". Akibatnya, Muhammadiyah sekarang ini, minimal di akar rumput, semakin 'ortodok'. Tidak heran, jika kemunculan JIMM kemudian disusul "perang urat" di kalangan Muhammadiyah. Sekarang, JIMM berhutang budi ke sunan Sukidi: Ternyata JIMM lebih "men-Dahlan" ketimbang mereka. JIMM rupanya penerus "khittah" Muhammadiyah. Ternyata, para "Qutubis" itu adalah orang-orang Muhammadiyah "murtad". Menarik, bukan?

Kedua, setelah sekian lama, hampir bisa dikatakan Muhammadiyah tidak punya seorang pun ideolog sepeninggal Kyai Mas Mansur. Menariknya, sekarang telah hadir ideolog baru Muhammadiyah di tengah-tengah kita: sunan Sukidi. Saya yakin, di tangannya Muhammadiyah akan makin punya "jenis kelamin". Kerisauan Syafiq Mughni tentang "jenis kelamin" Muhammadiyah terjawab. Syafiq Mughni menulis: ".....kita tidak usah mengeluh mengapa dalam perjalanannya banyak pemikiran aktivis Muhammadiyah yang sangat dipengaruhi oleh karya-karya tokoh al Irsyad dan Persatuan Islam...." Di tangan sunan Sukidi "jenis kelamin" Muhammadiyah tersebut sudah ditemukan: Calvinisme. Sukidi sedang menarik gerbong Muhammadiyah ke Barat.

Akankah temuan sunan Sukidi ini menimbulkan revolusi baru atau malah keributan di tubuh gerakan ini? Mari kita tunggu babak-babak berikutnya.

Untuk sunan Sukidi, saya ucapkan selamat.