Monday, July 11, 2005

Junaid al-Baghdadi dan Aswaja NU

Para pendiri NU memilih Imam Junaid al-Baghdadi sebagai panutan Nahdliyin bertasawuf karena konsep suluk ortodoks yang ditawarkannya: Tasawuf dengan titik pada syariah. Dalam hal ini Imam Junaid dianggap sebagai teoritis mazhab sufi. Dan, sejauh penelisikan saya, para pendiri NU hanya menjadikan Imam Junaid sebagai satu-satunya sandaran Aswaja NU dalam tasawuf, bukan Imam Ghazali. Apa alasannya?

***

Mas Dedy van Delft,

Terimakasih atas penjelasannya yang panjang lebar. Mencerahkan. Para pendiri NU memilih Imam Junaid al-Baghdadi sebagai panutan Nahdliyin bertasawuf karena konsep suluk ortodoks yang ditawarkannya: Tasawuf dengan titik pada syariah. Dalam hal ini Imam Junaid dianggap sebagai teoritis mazhab sufi.

Sejauh penelisikan saya, para pendiri NU hanya menjadikan Imam Junaid sebagai satu-satunya sandaran Aswaja NU dalam tasawuf, bersama-sama dengan empat imam mazhab dalam ber-fiqh, berserta Imam Asy'ari dan Imam Maturidi dalam aqidah. Selama ini saya belum pernah menemukan tasawuf Aswaja NU disandarkan pada Imam Ghazali, kecuali pada beberapa buku saja. (Tapi saya gagal mendapati rujukan dan sumber yang mereka pakai). Kenapa? Karena Imam Ghazali bukanlah seorang teoritis pertama, tetapi hanya sebagai seorang penegas posisi syariah dalam tasawuf.

Kendati begitu, Louis Massignon dalam bukunya 'Passion of al-Hallaj' mengkritik Imam Junaid sebagai seorang teoritis tasawuf belaka yang tidak memiliki pengalaman mistik. Apa alasannya? Karena ia menemukan Junaid di jarak yang berlawanan dari pengalaman dzouq al-Hallaj. Di sini, saya baca, Massignon, sebagai pakar al-Hallaj, terlampau terkagum-kagum pada tokoh yang dikajinya, bukan pada pada kecerdasan Imam Junaid yang bisa memadukan dzouq tasawuf dengan syariah. Tetapi, menariknya, ketika kemudian Massignon menulis dalam 'Essai sur les origines du lexique technique de la mystique musulmane', ia mencatat bahwa banyak doktrin bagus Junaid diambil oleh al-Hallaj. Sebuah apologi Massignon atas kritikan sebelumnya. Akhirnya, Massignon pun mengakui kehebatan Junaid sebagai seorang teoritis yang mampu membedakan secara tajam antara Tuhan dan manusia.

Di samping itu, pilihan pada Imam Junaid oleh para pendiri NU, saya lihat, berangkat dari perdebatan wacana keislaman masa itu. Di Semenanjung Arabia, Wahabi getol menghapuskan tasawuf dari khasanah keislaman. Karena itu NU membentengi Aswaja dengan Tasawuf. Sementara itu, pada saat yang sama, dunia Islam juga sedang mencari sebab-sebab kemunduran yang diderita dunia Islam. Abduh, sebagai pelopor gerakan ini, menuduh: Tasawuf lah biang kerok kemunduran dunia Islam, terutama ajaran zuhudnya. Lalu, kesimpulan saya, para pendiri NU menetapkan Imam Junaid. Kenapa? Karena Imam Junaid memiliki teori zuhud paling manusiawi. Imam Junaid menegaskan: "Zuhud bukan dengan meninggalkan dunia, tetapi dengan menempatkannya hanya di tangan, bukan di hati." (lihat `Risalah al-Qusyairiyah', Imam Qusyairi). Imam Junaid sendiri, selain dikenal sebagai seorang guru tasawuf, juga dikenal sebagai seorang pedagang. Setiap pagi Imam Junaid akan datang ke pasar, membuka kedai. Setelah itu sisa waktunya dilanjutkan untuk mengajar santri-santrinya, dan untuk beribadah.

Pilihan pada Imam Junaid, saya duga, juga karena NU sendiri awalnya adalah Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para Pedagang) sebelum menjadi Nahdlatul Ulama. Kira-kira semacam dasar untuk pertahanan dari serangan kalangan Modernis. Dengan dasar teori zuhud Junaid ini, sebenarnya, kalangan Nahdliyin lah yang lebih siap menghadapi pasar bebas dan zaman kapitalisme global. Jika di zaman seperti sekarang ini Ahmad Baso masih mendongeng ideologi utopian sosialis, maka berarti sama saja dengan mengingkari sejarah NU dan dasar Aswaja Nahdliyin. Sebuah kemunduran dalam mendongeng. Ahmad Baso menulis: Indonesia sebagai negara penghasil minyak, kini terperosok menjadi negara pengimpor. Impornya dari Singapura lagi - sejak kapan Singapura menjadi negara minyak? Pertanyaan yang cerdas. Namun, jawabannya bukan dengan "ber-utopian" seperti Baso, bermimpi untuk tidak menjadi bangsa kuli tapi tanpa mempersiapkan SDM dan mengasah sifat inovatif dalam zaman persaingan pasar. Lagi pula, di zaman seperti sekarang ini, kok, Baso masih mengelu-elukan Pramudya Ananta Tur. Pertanyaan saya: Negara sosialis mana yang telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya? Kagak ada. `Nehi hai', seperti kata orang India.

Sepengetahuan saya, Imam Ghazali tidak menjadi acuan bertasawuf NU. Tetapi saya ragu. Jangan-jangan NU diam-diam sudah merubah Aswajanya. Jika sudah diubah, pertanyaan saya: Sejak kapan?