Thursday, January 20, 2005

Pesantren Doktoral

Ide pembentukan Universitas Internasional NU ini betul-betul ide cemerlang. Saya sangat mendukung. Di samping itu, saya juga punya ide lain: NU harus punya Pesantren Doktoral. Apa alasannya?

***

Teman-teman NU di manapun anda berada,

Ide pembentukan Universitas Internasional NU ini betul-betul ide cemerlang. Saya sangat mendukung.

Di samping itu, saya juga punya ide lain: NU harus punya Pesantren Doktoral. Seperti kita ketahui, hampir semua pesantren NU masih berkutat dengan level SMP dan SMA saja. Ini pernah disinggung secara sekilas oleh Zamakhsyari Dhofier dalam disertasi doktor yang kemudian dialih-bahasakan: "Tradisi Pesantren". Temuan ini --meminjam bahasa Mbah Nadir saat-saat menggelitiki saya-- adalah research question penting yang diajukan oleh Zamakhsyari.

Temuan Zamakhsyari Dhofier lainnya adalah, kenapa sepeninggal Hadlaratul Syaikh Hasyim Asy'ari banyak pesantren NU turun level, hanya berkutat SMP dan SMA? Tentu saja sample yang dipakai oleh Zamakhysari adalah pesantren Tebuireng. Kalopun Tebuireng kemudian ada universitasnya, itupun hanya setingkat S1. Universitas di Tebuireng yang sekarang ada, saya berasumsi --mudah-mudahan salah--, sepertinya sulit mencetak kader-kader ulama yang diharapkan. Ma'had Aly Situbondo, barangkali lebih baik. Kenapa nasib pesantren kelas doktoral zaman Hadlaratul Syaikh menghilang?

Pertanyaan saya, Ma'had Aly Situbondo ini, kenapa tidak ditingkatkan menjadi pesantren dirasah ulya?

Dulu, santri-santri doktoral Hadlaratul Syaikh hampir pasti mendirikan pesantren besar lainnya selepas boyongan. Pesantren-pesantren besar milik santri-santri doktoral mbah Asy'ari ini tersebar hampir di pelosok pulau Jawa.

Menariknya, temuan Zamakhsyari Dhofier mengenai kondisi ini adalah, disebabkan oleh menurunkan kualitas pewaris pesantren Tebuireng sepeninggal Hadlaratul Syaikh. Jika itu masalahnya, saya menemukan titik lain: bagaimana kalo nasib pesantren doktoral tersebut ditentukan bukan oleh kyai pengasuh, tetapi oleh sistem. Saya melihat, penentu di titik ini adalah silabus pengajaran. Al Azhar, tempat Gus Ghofur Maemun lagi ngerampungin dukturah-nya, tidak akan terganggu oleh kondisi apapun karena sistem dan silabus yang sudah mapan. Kenapa kalangan NU tidak bisa membuat pesantren doktoral setaraf Al Azhar?

Saya menghayal, jika pesantren doktoral NU ini bisa diwujudkan, maka regenerasi ulama di kalangan NU bukan barang sulit. Selain itu, kalo saja ulama-ulama NU masa depan adalah jebolan pesantren tingkat tinggi ini, maka sudah pasti bakalan tidak akan ada lagi fatwa-fatwa menggelikan.

Bagaimana caranya? Untuk langkah awal adalah, salah satunya, bekerja-sama dengan Al Azhar, Mesir. Bisa juga dengan menggandeng universitas-universitas di Timur Tengah lainnya, seperti Iraq, Tunisia, Maroko, Syria, Lybia, atau bahkan universitas-universitas di Barat. Kekurangan tenaga pengajar? Untuk sementara waktu, saya kira, Azhar dan Iraq siap menyediakan kekurangan tenaga tersebut sampai satu persatu anak-anak NU menetas, Gus Ghofur misalnya. Gus Ghofur, syuriah NU masa depan, sudah menyatakan kesediaannya untuk menghubungkan pihak NU dengan Al Azhar.

Kalo NU bisa bekerjasama dengan Azhar, separuh masa kuliah santri dukturah NU dihabiskan di Azhar. Wow, keren. Jebolan Pesantren Doktoral NU ini bakalan setaraf dengan mahasiswa dukturah jebolan Azhar atau universitas Timur Tengah lainnya.

Saya mengusulkan, santri-santri dukturah ini adalah santri-santri bright, diambil dari setiap pesantren-pesantren milik NU. Pesantren ini betul-betul mencetak ulama-ulama NU masa depan. Kalo sekarang banyak orang Indonesia masih berkiblat ke Yusuf Qardhowi, atau ulama-ulama Wahabi Saudi, atau ulama-ulama Timur Tengah lainnya, itu karena ulama-ulama Indonesia, di mata sebagian umat Islam Indonesia, kualitasnya masih di bawah ulama-ulama non Indonesia tersebut.

Sekarang ini, saya kira, NU harus memenuhi kekosongan pengkaderan ulama yang berjiwa keindonesiaan.

http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/message/16085

2 comments:

Anonymous said...

Saya adalah orang yang dibesarkan di lingkungan NU di Jawa Timur, walau pun bukan NU "cekek". Saya setuju sekali dengan gagasan saudara, bahwa sudah masanya NU harus mengandalkan sistem, dan bukan diatribusi taklid terhadap sosok tertentu. Satu otokritik saya terhadap NU, mengapa tidak mampu mencetak generasi yang tangguh? Mungkin salah satunya karena kekurang seriusan melaksanakan syariat. Tentang kewajiban jilbab misalnya. Kedua, tidak tegasnya petinggi NU memonitor perkembangan fikroh anggotanya, sehingga JIL bisa tumbuh subur, dan bahkan tokoh JIL adalah salah satu menantu ulama besar NU.

Unknown said...

Wah akhirnya ketemu juga. Sudah cukup lama saya mencari mbah Rizqon untuk dicium tangannya. Sedang bertapa mbah?
Impian mendirikan universitas NU ini barangkali merupakan kelanjutan dari cita-cita besar NU untuk mencetak kader ulama. Namanya saja Nahdlatul 'Ulama. Tapi mbah, ada pilihan yang harus dicermati: NU mau mencetak kader (artinya jumlahnya terbatas), atau membuat pendidikan massal (seperti pesantren)? Kalau dua-duanya tentu akan jadi sulit.
Untuk mencetak kader NU harus bersiap mengalokasikan sumber dayanya yang kini dimiliki. Dan saya kira, menjadikan manajemen NU bersih, efisien, dan efektif adalah cerita lain yang menarik:-)