Thursday, July 29, 2004

Tokoh Masa Depan NU

Mas Nuridin,

Kata orang, sih, gini, "seorang tokoh akan dimunculkan dan dibesarkan oleh zamannya". Dan itu kagak 'dimunculkan' dalam artian bahwa dia pasif, tapi karena si calon tokoh ini merespon dengan baik keadaan yang sedang ada di sekitarnya. Nah, respon yang cocok untuk masa yang tepat akan memunculkan si calon tadi menjadi tokoh besar. Kapan waktu yang tepat itu muncul? Kita kagak tahu. Seringkali waktu-waktu genting itu muncul mendadak. Churchill kagak akan besar kalo dia tidak mengambil sikap dan respon yang tepat ketika berkecamuk perang dunia kedua. Abraham Lincoln kagak dianggap tokoh besar Amerika hanya gara-gara tewas dibunuh, tapi karena memang dia bisa merespon dengan baik kondisi zamannya, yang akhirnya tidak saja dianggap hero oleh bangsa Amerika, tapi juga oleh bangsa-bangsa di dunia.

Sekarang ini, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) tanpa sengaja menjadi tokoh besar, gara-garanya beliau mengangkat isu Khittah, karena NU sendiri termasuk sebuah organisasi yang terhitung besar di tingkat nasional. Padahal sejak dulu Gus Mus cuma ingin jadi "kiai dusun". Waktu dibujuk-bujuk untuk jadi ketua tanfidziyah PBNU di Cipasung beliau kagak mau. Di Lirboyo juga, pada Muktamar NU berikutnya, masih kagak mau. Gus Mus ini orangnya ikhlas, tipe khas kiai-kiai sepuh NU. Apa lacur, kecintaan Gus Mus ke NU, dengan respon dan situasi masa yang sangat tepat, dengan tanpa disadari, menjadikan beliau --untuk kali ini mau-tak-mau; kagak bisa nolak-- harus menjadi tokoh besar nasional. Menjadi ketua PBNU? Bukan, tapi menjadi simbol ketokohan baru: kiai sepuh yang tegas. Beruntunglah anak-anak Mas Ulil kelak, punya kebanggaan (bibit, dalam istilah jawa, kata orang pinter, penting untuk membangun dream seorang anak kelak ketika beranjak dewasa), yaitu bahwa mereka punya kakek yang hebat, dan ditambah lagi Mas Ulil sendiri memang luar biasa. Mantu yang beruntung. Semoga Gus Ghofur segera akan menyusul. Ha ha ha ha......

Sikap teman-teman yang bergabung dalam Jaringan Penegak Khittah, mengingatkan saya pada "kudeta" masa-masa Gus Dur muda, Slamet Efendi Yusuf, Ichwan Sams --untuk menyebut beberapa nama saja-- pada muktamar Situbondo '84. Tidak mustahil, teman-teman yang sekarang ini lagi berlatih merespon keadaan zamannya, kelak akan menjadi tokoh besar seperti Gus Mus. Kemampuan merespon zaman sendiri, kan, bukan kemampuan yang muncul dengan tiba-tiba, tapi karena dilatih dan diasah. Saya udah tandai nama-nama calon tokoh besar masa depan NU: Anas, Rendra, Mas Aziz, Jadul, Luthfi, Imdad, Khamami, Fawaid, Suaedy, Rumadi, Nuridin, dan Kiai muda Aminoto Sa'doellah --untuk menyebut beberapa nama saja. Jadi, Mbah Ngaminoto juga masuk hitungan. Siap, kan, Mbah?

Bravo buat teman-teman, go ahead. Siapa yang menebar jala, dialah yang akan memperoleh ikannya.

http://groups.yahoo.com/group/emansipatoris/message/1966

Kenapa Lahir Anak Perempuan?

To-Ochie,

Selamat buat Ochie atas kelahiran putri pertamanya, semoga menjadi anak yang solihah. Amien.

***

Tetapi, saya penasaran. Pertanyaan yang selalu menggoda saya: kenapa setiap pasangan yang baru nikah berkecenderungan melahirkan anak perempuan? Saya tidak perlu menyebut contoh, kenyataan di sekitar kita mengatakan begitu. Sedang anak nomor kedua yang lahir berikutnya akan cenderung berjenis kelamin laki-laki, tapi seringkali masih tetap juga dengan jenis kelamin perempuan. Dengan rekayasa sosial yang ada dewasa ini di masyarakat Indonesia --meminjam istilah dari Jalaludin Rakhmat-- yang disukseskan oleh rezim orba: keluarga bahagia adalah keluarga dengan dua anak, dan gilirannya akan memandang sinis kepada keluarga yang beranak pinak banyak, akan makin membuat dunia ini penuh dengan wanita. Itu artinya, kita akan mempercepat kiamat, karena salah satu tanda kiamat, kata Nabi, rasio perbandingan cewek dan cowok tidak seimbang --meskipun ini masih perlu didebatkan.

Kenapa setiap kelahiran anak pertama lebih sering perempuan? Saya tidak tahu jawaban pastinya, karena saya bukan dokter dan ahli biologi. Sementara itu, pada banyak pasangan yang setelah nikah tidak ingin segera mengagendakan punya anak, menunda hingga beberapa tahun, minimal beberapa saat, kebanyakan punya kecenderungan melahirkan anak berjenis kelamin laki-laki. Kenapa bisa begitu? Saya curiga, itu terkait dengan faktor X dan Y sperma pasangan laki-lakinya.

Konon, kromoson X pada spermatozoid yang bakalan menjadi anak laki-laki memiliki sifat hidup pendek, tapi gesit. Hidup spermatozoid X ini bisa bertahan agak lama dalam keadaan 'basa'. Dan, kromoson X akan cepat mati dalam keadaan 'asam'. Sedang kromoson Y bersifat sebaliknya: lamban, tapi tahan lama, dan hidup dalam keadaan 'asam'.

Dalam keadaan normal, "liang" wanita bersifat 'asam'. Jadi, jika terjadi pembuahan, dalam keadaan 'asam' ini, maka Y bisa dipastikan akan menang, sedang X akan mati lemas. Sedang, wanita yang baru mengalami orgasme seksual, "liang" bersifat 'basa', sehingga kalo terjadi pembuahan, insya Allah, akan berjenis kelamin laki-laki. Semudah itu kah? Mungkin, hanya Allah yang tahu. Singkatnya, pasangan baru nikah yang pada malam pertama tidak memakai "karet pengaman", saya yakin, saat si istri belum sempat orgasme, "liang" belum sempat menjadi 'basa', tiba-tiba sudah terjadi pembuahan. Y lah yang berhasil bertemu dengan ovum, lahirlah anak perempuan. Saya jadi ingat sindiran Allah dalam firman-Nya: "Inna kholaqnal insaana min 'ajal" (Artinya: manusia diciptakan dengan tergesa-gesa).

Wallahu a'lam. Mohon pencerahannya jika pembaca lebih tahu.

http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/message/14154/

Wednesday, July 28, 2004

Sikap NU: Memilih Mega-Hasyim atau SBY-Kalla?

Dear Luthfi dan kawan-kawan,

Saya ingin memberi klarifikasi dan tanggapan atas email saya di milis kmnu2000@yahoogroups.com yang Luthfi Thomafi kutip. Pertanyaan saya, "kekalahan NU" di segala bidang --kekalahan NU ini disebut oleh Mbah Luthfi al-mudakhkhin dengan "cengeng"-- akankah disikapi dengan mendukung Hasyim Muzadi (HM) dalam pilpres putaran kedua nanti? Menurut hemat saya, kita timbang-timbang dulu.

Menyikapi "geger" di republik NU ini, sebagai generasi muda, pertanyaan selanjutnya yang perlu kita ajukan, bagaimana kita musti bersikap? Saya kira, anak-anak muda NU harus punya idealisme, jangan bersikap pragmatis. Pilihan untuk mendukung HM, saya lihat, adalah sikap pragmatis, meskipun itu dimaksudkan untuk menjawab "kecengengan" kita. Disebut pragmatis, karena merupakan pilihan satu-satunya untuk menaikkan posisi NU --ini jika dilihat dari pasangan capres yang tersisa. Pilihan pragmatis ini, saya amati, tidak lain merupakan gambaran umum sebagian besar warga NU. Pilihan ini tentu tidak salah, karena integritas HM ke NU tidak kita ragukan lagi, tapi tidak dengan otomatis dapat dibenarkan. Kenapa? Karena, kalau Pak Hasyim jadi terpilih jadi wapres di pilpres, maka kubu Gus Dur sudah pasti akan kesal dan marah. Muktamar NU mendatang bisa digunakan untuk ajang hantam-menghantam dan menghancurkan kelompok HM. Begitu pula sebaliknya.

Disinilah poinnya, muktamar NU mendatang bakalan dipakai dua kubu ini untuk menyerang "lawan" dan memperkuat posisi kubu masing-masing. NU betul-betul akan dijadikan "kuda mainan" kepentingan mereka dan kelompoknya. Nasib NU kedepan akan hancur lebur. Kubu Gus Dur dan PKB akan memanfaatkan muktamar ini untuk menyingkirkan HM. Begitu juga, kubu HM akan menggunakan muktamar ini untuk menyingkirkan kubu Gus Dur dan PKB. Runyam bukan?

Nah, untuk menyikapi perseteruan ini, menurut saya, anak muda NU janganlah bersikap pragmatis, tapi idealis. Idealisme anak muda NU adalah memperkuat NU ke depan. Amat disayangkan kalo anak-anak muda NU ikut-ikutan dalam pertarungan dan permainan orang-orang tua.

Konsentrasi kita adalah membuat muktamar NU sebagai batu loncatan membangun peradaban NU. Menurut hemat saya, muktamar nanti idealnya adalah menyingkirkan Gus Dur dan HM sekaligus. Tempatkan mereka pada sayap politik saja. Karena itu, mudah-mudahan yang menang nanti adalah SBY. Kenapa? Biar HM dan GD "tahu-rasa" , karena mereka kalah. Dan mudah-mudahan kekalahan ini akan menjadi pelajaran penting bagi NU di masa depan. Saya perhatikan, kubu HM sekarang ini lagi jumawa karena bisa mengalahkan Wiranto-Gus Sholah. Tapi kemenangan ini berdampak tidak baik buat NU: makin memperuncing keadaan yang sudah panas. Demi masa depan NU, menurut saya, lebih baik yang menang adalah orang non-NU. Biar NU bersatu dan menata diri lagi. Kita mendukung SBY-Kalla? Jangan. Fokus kita hanya pada muktamar dan penyelamatan NU, untuk kemudian membangun peradaban baru NU yang lebih kokoh.

Yang pasti, pertarungan elit NU sekarang ini berada di dua level: Pilpres dan Muktamar. Dalam pengamatan saya, kubu HM sekarang merasa, siapapun yang mengusung tema khittah dianggap pro GD, karena isu pelanggaran khittah tampaknya akan dipakai untuk menghantam HM di muktamar. Naga-naganya, kubu HM lagi pasang-pasang kuda memperebutkan muktamar. Kubu Gus Dur juga sama.

Maka itu, saya menyambut baik sikap kritis teman-teman muda NU tempo hari dengan mengangkat isu khittah dalam "Temu Jaringan dan Aliansi Penegak Khittah 1926" di Pondok Pesantren Soebono Mantofani, Tangerang. Dalam kerangka ini saya juga bisa memahami usulan MLB teman-teman Jogja dari esensi di balik usulan tersebut, meskipun saya tidak setuju.

Bisakah anak muda NU bersatu? Kenapa tidak. Masa depan NU berada di tangan anak-anak mudanya.[]

Gus Mus dan Kubu ketiga di NU

Cak Guntur,

Renungan sampeyan bagus, detil, terarah dan gamblang. Betul, kita butuhkan kubu ketiga, sebagai kubu yang netral. Ini untuk menyelamatkan NU dari ketercabikan sekarang dan masa depan. Beruntung masih ada Kiai Sahal, masih ada yang bisa diharapkan. Dan Kiai Sahal sendiri cukup arif menempatkan diri sebagai tokoh sentral NU yang tidak terjerumus ke dalam permaian kubu-kubuan. Kita berharap banyak ke beliau untuk bisa memunculkan kubu ketiga, yaitu kubu khittah. Kenapa beliau? Karena peran beliau pada masa-masa terakhir sangat bagus, berusaha untuk netral. Tampaknya, suara-suara cabang dan para kiai di lapis lebih bawah bersedia mendengar "suara Mbah Sahal".

Setelah Kiai Sahal, apakah harapan itu juga berada di tangan Gus Mus? Jawabannya: ya dan tidak. Kenapa begitu? Karena secara tidak langsung, dalam pengamatan saya, Gus Mus tidak terlalu netral seperti sangkaan kita selama ini. Gus Mus memang tidak masuk salah satu kubu secara terang-terangan. Tapi saya lihat, Gus Mus sebenarnya sedang mengadakan perlawanan "kultural" tidak langsung ke Gus Dur --meskipun tidak dengan 'cetho-bloko' beliau mendukung Pak Hasyim, "lawan" Gus Dur.

Perlawanan kultural tersebut, seperti yang kita saksikan, adalah dengan mengangkat khittah, karena hanya lewat jalan ini perlawanan dengan Gus Dur bisa dilaksanakan. Gus Mus sadar, perlawanan lewat politik tidak bakalan bisa "menguliti" Gus Dur. Bahkan perlawanan Gus Mus ke Gus Dur sebelum pemilu, dengan menggerakkan barisan kiai-kiai, tidak juga berhasil. Malahan, semua bentuk perlawanan itu bisa diredakan oleh Gus Dur pada saat menjelang pemilu legislatif kemaren.

Gus Mus benci Gus Dur? Tidak. Tapi hanya menampung suara-suara sebagian kalangan NU yang sudah tidak nyaman dengan gaya kepemimpinan Gus Dur. Selama ini, sosok Gus Dur terlalu besar untuk ditantang oleh sebagian kalangan NU yang merasa kurang nyaman tersebut. Hanya Gus Mus yang berani "ngajak gulat" dengan Gus Dur. Itupun dengan cara-cara yang sangat-sangat halus. Berhasilkah? Tampaknya kegesitan Gus Dur tidak mudah untuk ditumbangkan. Diam-diam, minimal sebagai pilihan pribadi, Gus Mus mendukung Pak Hasyim. Bahkan, jangan-jangan Gus Mus getol mengangkat isu Khittah 26 hanya untuk menjegal Hasyim Muzadi dan Gus Dur sekaligus untuk memuluskan jalan SBY ke kursi presiden RI. Begitu juga untuk kalangan NU yang sudah gerah dengan Gus Dur, sama. Pendek kata, semangat Gus Mus untuk mengangkat khittah, saya duga, adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap Gus Dur.

Bisakah kita mengharapkan Gus Mus menjadi pemimpin kubu ketiga di NU? Saya kira tidak. Bukan Gus Mus yang kita harapkan untuk menjadi penyelamat NU, tapi generasi mudanya. Gus Mus saya harap cukup menjadi broker. Teman-teman muda NU yang harus gesit mendekat ke Gus Mus untuk mencari perlindungan. Ini mengingatkan kita pada "kudeta" Gus Dur, Slamet Yusuf, Ichwan Sams, Pak Said Budairy, dll, di Situbondo tahun 1984, dengan berlindung di bawah Mbah Sa'ad Syamsul Arifin dan Mbah Ali Maksum. Saya kira, jika Mbah Sahal dan Gus Mus sudah berada di tangan, anak-anak muda NU bisa muncul. Ada beberapa nama yang pantas untuk masuk, yang tidak politis dan konsisten di dunia kultural, seperti Mas Fajrul Falaakh, Syafiq Hasyim, Rumadi, dll. Pak Masdar saya kira bagusnya di Syuriah, menjadi "Bapak Asuh" bagi anak-anak muda NU yang ingin berkarier intelektual.

Tapi, mereka kagak punya pondok, konon ada konsensus diam-diam bahwa seorang ketua harus punya pesantren? Nah, kalo pesantren ini disyaratkan, maka masih ada beberapa: Mas Ulil dengan pesantren Utan Kayu-nya, Kiai Husen Muhammad, atau Kiai Aminoto Sa'doellah. PBNU mau dipimpin wanita? Ning Ntis bisa juga diajuin, atau Mbak Rosa. (eh, iya, sekedar info: kemaren, Mbak Rosa udah diangkat jadi anggota MPR/DPR. Selamat buat Mbak Rosa)

Yang pasti, anak muda NU harus mengambil alih kepemimpinan NU secara struktural, biar laju kultural NU tetap berada di jalurnya. Dan, masa yang sangat tepat adalah sekarang ini, emang kapan lagi? Karena, dalam keadaan normal sangat sulit anak muda akan naik. Selagi dunia NU masih carut-marut, maka kesempatan itu sangat terbuka. Kata orang, kemunculan seorang tokoh besar hanya pada zaman yang tepat. Gus Mus kah itu? Iya, betul. Tapi saya berharap, Gus Mus tidak untuk memimpin NU, namun bersedia menjadi tokoh pengayom. Dan, tokoh besar yang akan muncul, sekali lagi, harus dari anak-anak mudanya.

Bukankah masa depan NU berada di tangan anak-anak mudanya?

http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/message/14132/

Thursday, July 08, 2004

NU dan Amien Rais dalam pilpres 2004

Dear all,

Mbah nadir dalam membuat cerita tamsil dalam emailnya bukan sebagai provokator. Dia sekedar bercerita tentang kesejatian sejarah. Itu realita yang ada. Tanya semua anak-anak NU: Bagaimana NU selama ini diperlakukan oleh beberapa Muslim Non-NU sejak detik pertama NU lahir sampai sekarang. Bahkan di semua bidang, tidak saja di wilayah politik.

Kalo ada segelintir anggota milis kmnu ngotot memaksa warga NU untuk bergabung dengan partai-partai Islam dengan memberikan suara ke capres yang mereka dukung, konon dengan alasan ukhuwah dan perjuangan Islam, saya berani bilang: jangan banyak berharap !!!. Sebagian member milis kmnu tersebut, mungkin mereka sadar, dengan dukungan warga NU seorang capres makin mudah menjadi presiden. Bahkan mas Pradhita al-Rasyid di email sebelumnya musti bilang, "kenapa tidak belajar dari sejarah?", dengan "bergabung bersama partai-partai Islam lainnya" (Dalam bahasa saya, saya artikan: kenapa tidak memberikan suara kepada capres calon mereka).

Justru karena melihat sejarah, saya kira, NU dan politisi NU harus berpikir seribu kali untuk kembali bergabung dengan kaum modernis. Sejarah bilang, sudah beberapa kali NU bergabung dengan kaum modernis, cuma untuk menderita dan "dizolimi". Bukti pertama, saat bergabung dengan Masyumi pada tahun 50-an. Kedua, ketika ikutan PPP. Ketiga, saat NU dibujuk-bujuki untuk menyerahkan putra terbaiknya Gus Dur jadi presiden, lalu setelah itu dengan seenaknya dilemparkan dari kursi presiden. Anehnya, ketika warga NU marah-marah lantaran kejadian tersebut, malah dikata-katain, "nggak bisa diajak berdemokrasi" dan "tidak berbudaya". Pantas Mas Ulil cuma bisa "menangis" lewat tulisan di kompas "pintarnya mereka, dan bodohnya NU" (?). Saya kira, hanya itu yang orang-orang NU bisa lakukan: menulis. Dan wong-wong cilik NU yang tidak bisa menulis, melampiaskan kejengkelannya dengan berbagai cara, yang kemudian diminta oleh Gus Dur dan para kiai untuk dihentikan. Kalo saja tidak dihentikan oleh Gus Dur dan para kiai ini, Indonesia sudah pasti terjadi pertumpahan darah. Kami masih ingat betul kejadian tersebut. Dan kami tidak bakal melupakan tiga catatatan sejarah di atas: Masyumi, PPP, dan jatuhnya Gus Dur.

Jangan-jangan, kekalahan capres dari kelompok Modernis kemaren, lantaran doa warga NU yang terdzolimi, lantas didengar oleh Tuhan. Wallahu a'lam

Mungkinkah suatu saat NU gabung dengan partai-partai "Islam" di luar NU? Mungkin saja, jika keadaan mengizinkan. Yang pasti, tidak untuk detik ini. Tapi, saya kira, jika para politisi NU mau membaca sejarah secara cermat, mereka tidak akan berpikiran untuk kembali berkoalisi dengan partai Islam di luar NU, karena tidak mau jatuh ke kubangan untuk keempat kali. Sekali lagi, ke-4 kalinya. Pilihan bergandengan dengan partai Golkar dan PDI-P, saya lihat, karena jelas 'deal'-nya. Inilah realitas politik, bukan dengan sentimen keislaman. Dengan partai yang mengusung isu-isu Islamis, lantas bagaimana? Ntar dulu, musti dipikir cermat dan membaca sejarah berulang-ulang.

Apakah Mbah Nadir membuat provokasi dengan cerita jenaka tadi? Tidak. Sekali lagi, tidak. Itu fakta sejarah. Di luar wilayah foolitik, bahkan kegayengan kami dalam beribadah seringkali diusik. .....dst..dst..dst.....puuuuuanjang kalo diteruskan.

http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/message/13922/