Thursday, June 24, 2004

Anak muda NU: kudeta saja PBNU !!!

Bravo buat teman-teman muda NU yang berada di Tanah Air yang masih punya hati nurani. Kami di India mendukung penuh acara ini. Semoga peran teman-teman muda NU ini menjadi "pewarna" bagi jam'iyyah yang kita cintai ini.

Jika perlu, jamiyyah NU ini "dikudeta" saja oleh anak-anak muda NU. Biar lebih "hidup" dan "bergairah". Saya kira, "Kudeta" ini tidak mustahil, asal kiai-kiai sepuh bisa dirangkul. Isu regenerasi NU harus dimunculkan. Suntikan energi baru dari teman-teman muda NU, sebagai "dekonstruksi" pertama, sangat diperlukan.

"Dekontruksi" kedua, lembaga Syuriah sepertinya harus dirombak, kalo perlu dibubarkan saja. Cukup menjadi dewan "entah apa namanya", agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan. Tetapi, dewan para kiai sepuh ini harus punya hak veto, untuk mengerem kebijakan ketua yang bisa jadi "kebablasan" atau "menyeleweng".

Gimana?

http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/message/13650/

Sunday, June 13, 2004

Pengurus NU dan Daftar Kekayaan

--- In kmnu2000@yahoogroups.com, Guntur Romli wrote:

Salam...

Untuk mendatang calon ketua umum pbnu harus menyertakan daftar kekayaannya, serta meneken kontran untuk konsentrasi di PBNU tanpa tergiur oleh tawaran jabatan politik.

-GuN-

***

Cak Guntur,

Saya sangat sepakat dengan usulan sampeyan.

Dan sikap kritis terhadap Pak Hasyim, saya kira, bukan karena sedang menjadi capres. Tapi, karena pak Hasyim "pernah" menjadi ketua NU. Kenapa kita meributkan kekayaan cuma terbatas pada pejabat dan presiden RI? Kenapa kita tidak mengusungnya ke lingkungan NU untuk mengontrol para "pejabat" dan "presiden" NU? Sikap kritis ini tidak untuk menghujat Pak Hasyim. Namun untuk memulai tradisi bagus ini di NU.

Bagi para petinggi NU, menurut hemat saya, perlu untuk mengumumkan daftar kekayaannya sebelum naik, dan setelah selesai masa pengabdiannya. Jika NU bersih, Indonesia perlahan-lahan akan bersih. Gitu, loh. Ingat, warga NU, minimal, 30 juta, cing. Kenapa bersemangat menghitung kekayaan para pejabat, tapi tidak berani menghitung kekayaan pengurus NU?

Sebenarnya, tradisi ini sudah dimulai pada Muktamar Cipasung. Kala itu Gus Dur menyindir, calon ketua tanfidziyah harus bersih. Sindiran ini sebagai "reaksi" masuknya Abu Hasan sebagai kandidat. Lalu direspon secara baik oleh para kiai sepuh yang mengusulkan, calon ketua harus berakhlaqul karimah. Sebuah istilah yang sarat makna. Bukankah ini sebuah tradisi bagus buat NU? Kita tidak usah pusing-pusing menganalisa, apa dibalik usulan Gus Dut tsb. Tapi kita ambil sisi positifnya. Beban sebagai sebuah organisasi Islam, harus menjadi pertimbangan. Apalagi disebut-sebut, NU merupakan organisasi massa Islam terbesar tidak saja di Indonesia, tapi di dunia. Sekali lagi, 30 juta, cing. Wadauh, berat.

Sayangnya, lamat-lamat tradisi baru ini tenggelam pada Muktamar NU berikutnya di tengah hiruk pikuk euforia warga NU atas terpilihnya Gus Dur menjadi presiden. Sekarang apalagi, terlihat menghilang.

Saya kira, muktamar NU mendatang, hal ini harus mulai ditradisikan kembali. Siapapun mereka, calon ketua, terutama tanfidzi, harus mengumumkan daftar kekayaan mereka. Jadi, Mas Ulil pun harus berani mengumumkan daftar kekayaannya, jika berniat untuk "naik pangkat".

http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/message/13458/

Wednesday, June 09, 2004

Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah

Mas Didi yang baik hati,

Saya ingin memberi sedikit klarifikasi. Karena, saya menangkap, pengertian Ahlussunah yang sampeyan angkat, lebih mendekati istilah ahlussunah yang dimiliki kelompok non-NU di Indonesia. Bukan yang diyakini oleh warga Nahdliyiin.

Yang pertama mengangkat term "ahl al-sunnah wa al-jama'ah" , di Indonesia, adalah NU. Menyusul kenyataan gerakan Wahabi menguasai Jazirah Arabia, NU terbentuk. NU juga dibentuk untuk menjaga cara Islam Walisanga dari serangan para pembawa ajaran Wahabi di Indonesia yang mulai mengutuki "Islam Indonesia" sebagai TBC (Tahayul, Bid'ah, dan Churafat).

Upaya kiai-kiai Islam Pribumi ini (baca: NU) pelan-pelan berhasil. Masyarakat disadarkan bahwa Islam Indonesia adalah Islam khas dan sah, tidak seperti tuduhan para pengikut Wahabi tersebut. Dan keberhasilan lainnya: membuat Istilah Wahabi menjadi istilah pejoratif, jelek. Apapun yang berbau nama Wahabi masyarakat sudah punya stigma tersendiri. Ajaran Wahabi tidak bisa menembus dada masyarakat. Sampai detik ini pengikut Wahabi tidak bisa menjadi mayoritas. Selamanya minoritas.

Dengan dukungan dana yang sangat besar dari Pemerintah Saudi, organisasi "Wahabi" Indonesia masih belum puas. Propaganda lain digerakkan. Kali ini menyerobot istilah 'ahl al sunnah wa al jamaah' yang sudah lama menjadi milik NU, diakui sebagai hak mereka. Alasannya, mereka lebih banyak memakai Hadits dan mengikuti Sunah Nabi. Sengaja mereka menjauhi istilah Wahabi, karena takut dijauhi masyarakat. Atau menggunakan istilah lain, seperti Islam Salafy. Perebutan Istilah 'ahl al sunnah' makin jelas dengan terbentuknya, Lasykar Ahlussunah wal Jamaah (?). Istilah yang membingungkan. Padahal gerakan ini, dalam tradisi keilmuan Islam, masuk ke dalam kelompok Islam Salafy. Sementara jenis Islam "lawannya", seperti NU di Indonesia, Turki, India, Pakistan, dll, dikelompokkan dalam garis Islam Kholafy. Garis ini telah dimulai ratusan tahun silam, sejak munculnya polemik akidah antara kelompok mayoritas Muslim (Al Asy'ari) dengan Ibnu Taymiah.

Islam model NU masih dipelihara di belahan dunia lainnya, seperti di India, Turki, dll, yang juga defensif dari serangan Wahabi, jelas-jelas, kelompok ini menyebut dirinya sebagai Islam Ahlussunah wal Jamaah. Hal ini muncul, seperti halnya di Indonesia, karena Wahabi di India juga gencar hendak "mengislamkan" umat Islam disana. Dana milyaran Dollar dialirkan dari Saudi Arabia.

Sejak zaman reformasi, di Indonesia, tiba-tiba muncul kelompok yang mengaku-aku sebagai ahlussunah wal jamaah, padahal secara akidah kelompok ini sebagai pengikut Islam Salafy. Pemikiran Salafy, awalnya, dikembangkan secara metodologis oleh Ibnu Taymiah, diterus-kembangkan oleh al-Wahab. Lalu dibawa ke Indonesia, dengan segala variasinya, menjadi Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad. Gelombang kedua, lewat para lulusan Saudi dan Yaman, menjadi Hizb Tahrir, Layskar Jihad, Front Pembela Islam, dan lain sebagainya.

Pada gelombang kedua inilah perebutan istilah ahlussunah ini dimulai. Mereka tahu betul, seratus tahun umur Muhammadiyah dan Persis, tidak bisa "mengislamkan" wong-wong NU yang sudah punya tameng ampuh: istilah Wahabi adalah negatif. Lalu, menyerobot istilah milik NU dan kelompok sealiran: Ahlussunah wal Jamaah. Diklaim, merekalah yang lebih pantas disebut Ahlussunnah.

Jadi, apa beda antara Ahlussunnah milik NU dan kelompok tadi? Yang jelas, selain beda pada akidah. Bahwa, NU adalah pengikut Asy'ariah, disebut kelompok 'Kholaf', sedang kelompok yang berseberangan tadi disebut sebagai 'Salaf' (dewasa ini, lebih dikenal dengan kelompok Salafy). Adapun perbedaan kedua adalah, bahwa NU adalah kelompok ahlussunnah yang masih memegangi Sufi sebagai bagian Islam. Sementara pada kelompok kedua, Sufi dikatakan bukan bagian dari Islam. Tapi, sebagai bid'ah, khurafat, dan takhayul.

Sekian, semoga tidak membingungkan. Mohon maaf jika ada kurangnya.

http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/message/13379/

Tuesday, June 08, 2004

Kiai NU dan Salam Tempel

Cak Guntur,

Banyak kiai-kiai NU pengasuh pesantren, tidak ngambil iuran dari para santri. Ikhlas. Kalaupun ada, sangat sedikit. Hanya cukup untuk membayar listrik dan air. Adapun biaya-biaya lainnya, dari penambahan gedung, pembangunan sarana, kadang sampai pembayaran tenaga pengajar, sepenuhnya ditanggung si kiai. Para wali murid tahu betul soal ini. Kesejahteraan kiai adalah tanggung jawab mereka. Maka itu, pada saat menjenguk anak-anaknya, wali murid tidak lupa mampir ke 'ndalem'. Sowan, ngalap berkah dan "salam tempel".

Pada tataran lain, demikian juga, banyak pengurus NU bekerja tanpa pamrih, ikhlas. Mereka kebanyakan terdiri dari kiai-kiai pesantren tadi. Hidup diabdikan buat masyarakat. Dan masyarakat tahu betul soal ini. Kesejahteraan pengurus NU adalah tanggung jawab mereka. Maka itu, masyarakat mampir ke 'ndalem' kantor NU. Tidak sedikit diikuti para pengusaha. Lantaran, ingin usahanya tidak terganggu dengan keluarnya fatwa yang bisa meruntuhkan dunia bisnisnya. Untuk mudahnya, ambil contoh, kalo saja Indofood "dilabeli" berlemak babi, haram, kebayang, Paklik Liem pasti bangrut dalam hitungan detik. Lantas, para pengusaha sowan, ngalap berkah dan "salam tempel". Dan, ada saja pengurus NU yang tergoda.

Pada saat pengurus NU ini naik tingkat, menjadi pejabat, anggota DPR/DPRD, hidup mereka masih diabdikan untuk masyarakat. Pada tahapan ini, anehnya, kesejahteraan mereka masih saja ditanggung pengusaha. Padahal sudah digaji oleh negara. Datangnya pengusaha, umumnya, dikarenakan ingin bisnisnya langgeng dan --satu lagi-- pingin bertambah besar. Mereka sadar soal ini. Lantas, sowan, ngalap berkah dan "salam tempel".

"Salam tempel" pada kasus pertama, dari para wali murid, disebut dengan hanya "salam tempel". Bagaimana hukumnya? Boleh. Bahkan tidak jarang tangan kiai jadi bengkak-bengkak. Kagak percaya? Tanya Gus Ghofur. he he he...

"Salam tempel" yang diberikan kepada pengurus NU oleh para pengusaha, pada kasus kedua, disebut sebagai 'Hibah'. Bagaimana hukumnya? Silahkan tanya ke ustadz Niam dan ustadz Luthfi Thomafi di Pesantren Virtual.

Sedangkan, "salam tempel" pada kasus ketiga, yang diberikan pada saat menjadi pejabat, disebut dengan "suap". Bagaimana hukumnya? Tanyalah ke ustadz Nadirsyah Hosen.

http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/message/13362/